Merawat Akal, Antara “Ruang Publik” dan Kebenaran

plato-okeAhkhir-akhir ini di Indonesia ramai dalam pembicaraan publik tentang Syariat, tentang kasus Ahok, tentang Khilafah, ISIS, Jabha Nusra, Syuria. Diberitakan salah satu pentolan kelompok Islam radikal dengan terang-terangan mengatakan salah satu anaknya syahid di Syuria (dalam barisan Al Qaeda), Terorisme, bahkan sebagaian dari mereka terlihat di youtube baiah pada Abu Bakar al Bagdadi (ISIS) dan lain-lain.

Negeri kita tercinta, saat ini seakan bukan berbenah menuju ke depan, tetapi sedang sangat sibuk dalam mengalokasikan SDA/SDM-nya untuk menyelesaikan masalah, menyelesaikan problem. Disintegrasi bangsa, radikalisme, korupsi, intolerasi, krisis kepercayaan dan seterusnya.  Ada apa dengan Indonesia saat ini? Apakah pemerintah, negara-hukum dan demokrasi kita sudah terkikis legitimasinya? Tidak rasionalkah pemerintahan negeri ini sekarang? Sehingga krisis identitas, krisis pemahaman keragaman bernegara, bahkan pluralisme beragama semakin pudar? Ada apa ini semua?

Secara hakiki manusia memiliki dua hal sekaligus yaitu Rasio dan Kehendak. Karena dua hal inhern dalam diri manusia itu, maka manusia menjadi ‘Tahu’ dan ‘Mau’. Dengan rasionya manusia ingin mengetahui, memahami segala sesuatu, dan dengan kehendaknya mereka menginginkan segala sesuatu. Disinilah mungkin ada benarnya manusia itu dikatakan sebagai animal rasionale (hewan-Rasional) karena dua sisi diatas. Disinilah manusia itu butuh faham/rasional/filsafat serta Hukum. Dalam dunia pendidikan dan politik, maka perlu disentuh mau dan tahu itu.

Dalam kehidupan politik, maka politik mesti dibuat legitimate dan ‘rasional’, walaupun pokok dari politik adalah naluri kekuasaan. Dunia politik unsur kehendak manusia mengatasi unsur pengetahuan rasional. Berbicara politik itu sebenarnya berbicara mengenai naluri kekuasaan yang dibenarkan secara sosial. Kita bisa lihat itu pada kampanye politik yang tetap mendominasi uang, hiburan daripada program, unsur pengambilan keputusan dengan voting, unsur one man one vote dst. Apakah tindakan partai-partai itu rasional? Apakah pemerintah itu dijalankan secara rasional? Jawabnya jelas, ‘tidak’ atau ‘belum’. Tetapi bahwa pemerintah itu legitimet, maka kita akan mengatakan ‘ya’, sebab sudah melewati proses-proses yang seharusnya.

gramsciDemokrasi memang mengandaikan kebebasan untuk berfikir, berbicara dan berkomunikasi tanpa diskriminasi, manipulasi dan represi. Dalam dunia barat, sebagai pengusung demokratisasi di dunia, sudah menyadari bahwa pemerintahan-hukum, demokrasi mereka terancam secara serius oleh yang namanya kapitalisme. Kekuasaan kapitalisme, menyebabkan, kepentingan, keuntungan, fungsionalitas uang adalah segala-galanya, sehingga mengikis habis rasionalitas dan kebaikan bersama. Kritik itu sudah dilontarkan cukup lama oleh para pemikir dunia-barat sepert Karl Marx, Marx Khorheimer, Herbert Marcuse, Antonio Gramsci, Habermas dll. Mereka memberikan penjelasan dan kritik terhadap fenomena itu dengan sangat rinci. Antonio Gramsci mengatakan (Prison NoteBook, 2006) bahwa, Hegemoni Kekuasaan akan menjadikan hegemoni Kesadaran. Artinya, bila kekuasaan membatasi pendidikan, buku, informasi dan media yang dikonsumsi dan ditawarkan pada masyarakat dst, maka apa yang terpikirkan, tak terpikirkan, suka dan tidak suka akan tercerabut sesuai dengan arahan Kekuasaan. Dan media-informasi sangat berpengaruh disini. Dengan budaya konsumerisme yang ditawarkan kapitalisme, maka masyarakat, tidak lagi berfikir bahkan acuh tak acuh. individualistis serta apatis terhadap jalannya politik-kekuasaan yang mengklaim demokrasi. Padahal demokrasi mensyaratkan  rakyat dan partisipasi rakyat adalah segalanya.

Barat sadar bahwa ruang publik, yang diartikan sebagai panggung bagi gerakan partisipasi masyarakat dalam negara-hukum-demokratis sangat diperlukan. Sehingga partisipasi masyarakat banyak -dengan bebas dan tanpa represi- dapat memberikan arahan politik-kekuasaan bisa terjadi. Tetapi bagaimana ruang-publik, yang nantinya menjadi opini-public bisa effective, merasionalkan panggung politik, hukum dan demokrasi?

Dalam dunia psikologi dan politik, kita disadarkan bahwa masyarakat menerima fakta bukan sebagaimana adanya, akan tetapi apa yang mereka anggap fakta, kenyataan fatamorgana atau lingkungan palsu. Distorsi tentang informasi dan fakta tidak hanya dikarenakan emosi, nafsu, kebutuhan ego saja, tetapi stereotipe-stereotipe, gambaran yang kita miliki tentang figur publik dan produk benda-benda dan seterusnya. Untuk sebagian besar, “kita tidak melihat dulu, dan kemudian merumuskan tetapi kita merumuskan dulu barulah kemudian melihat”. Kita cenderung melihat apa yang kita pilih dalam bentuk yang distereotipkan untuk kita oleh budaya kita (Lippman, 1991).

Coba kita lihat kasus Ahok, Jokowi, PKI, MUI, Habib Riziq Syihab, Freepoert, Kasus Syiria, Aleppo, Sunnah-Syiah. Dalam hal ketokohan kita bisa lihat kasus Quraish Shihab, Mustofa Bisri, Arifin Ilham, Habib Rizig, Banctiar Nasir, Tengku Zulkarnain, dll. Bagaimana saat kita mendiskusikan itu semua? Ternyata tanggapan masyarakat atas lingkungan mereka (seperti kasus diatas) tergantung faktor kognitif (berhubungan dengan proses pengenalan dan penafsiran dengan nalar dan pemahaman), juga pada kontruksi mental masyarakat.isis jIBRIL 1

Disinilah berita, media dalam penurunan reportase-nya sering tergantung stereotipe, standarisasi, penilaian rutin dan pengabaian kepelikan masalah. Lingkungan palsu (pseudo reality) atau gambaran dalam kepala kita, bukan hanya karena sensor (seperti Gramsi diatas), tetapi lebih-lebih karena KEMALASAN kita untuk asal menyederhanakan segala sesuatu yang dianggap rumit (contoh: Kasus Syuria dan Syiah).

Dalam ruang-publik diasumsikan dan diyakini bahwa, 1) Para aktor diskusi, perbincangan publik, bukan dari birokrasi-negara ataupun kalangan bisnis yang dengan cara tertentu berkolaborasi dengan kekuasaan. Mereka adalah warga umum, privat dan kelas menengah. 2) Terjadi proses pemberdayaan dengan pertimbangan-pertimbangan rasional tanpa rasa takut, represi. 3) Ruang itu menjadi mediasi ruang privat dan kepentingan publik. Pertanyaannya, apakah ruang-publik kita, Media, TV, asosiasi semacam ILC, sampai Cyberspace (Medsos seperti Twitter, FB, WAG dll) melakukan ketiga hal diatas? Apakah justru tidak sebaliknya. Terjadi semacam refeodalisasi yaitu negara dan pasar melakukan intervensi hegemonis kedalam ruang public. Sehingga ruang-public diisi oleh kepentingan pasar (perang-perang di Timur tengah, isu sunnah-syiah, yang dibelakangnya adalah kepentingan bisnis-korporasi) atau kasus Ahok, FPI, Komunisme (Untuk kepentingan Birokrasi)?

Idealnya ruang publik, yang merupakan saranan pertemuan, ruang diskusi perbincangan, dengan kesadaran, kesetaraan dan tanpa rasa takut, represi,  akan memberikan keuntungan atau sebaliknya pada berbagai hal. Keatas, ruang public akan menjadi opini public, yang itu akan dijadikan pertimbangan cukup serius oleh pemerintah dalam pengambilan kebijakan dalam negara hukum-demokrasi. Tetapi bila itu dirembesi kepentingan birokrat dan Kekuasaan serta pasar. Maka akan melegetimasi apapun yang dilakukan oleh pemerintah. Kesamping akan mengedukasi, potensi-potensi kebaikan, sehingga rembesan kebaikan makin meluas. Bila tidak maka akan malah menyingkirkan potensi-potensi kebaikan yang menghambat dan mengkritik totalitarianisme. Kebawah menghilangkan potensi-potensi yang kurang baik seperti Komunisme, Marxisme dan Khilafah. Tapi bila sebaliknya, maka akan menghancurkan kaum minoritas, sarana diktator mayority dst.

Posisi Agama dan Agamawan

Ali syariati 2.jpgMau ataupun tidak mau, kita sudah menyepakati bahwa negara kita adalah negara sekuler, negara kita bukan berasaskan agama. Negara kita adalah negara berbasiskan Pancasila dan UU-45. Tetapi sebagai orang beragama kita yakin dan sadar bahwa apapun itu mesti di/terbimbing oleh agama dan agamawan. Pertanyaannya adalah bagaimana meletakkan itu dalam atmosfer negeri ini?

Dari pihak beragama kita semestinya dituntut dan kesediaan belajar untuk menemukan “posisi epistemis” yang tepat berhadapan dengan realitas keadaan dan kesepakatan faunding-father tentang posisi negara-hukum demokratis kita. Kita kaum beragama dituntut berhadapan pada tiga tantangan modernitas (A Sunarko : 2010) yaitu; Pertama, warga beragama harus menentukan posisi epistemis yang tepat berhadapan dengan kenyataan plural-agama serta berbagai pandangan hidup. Itu bisa dikatakan berhasil, bila warga beragama secara sadar mampu menunjukkan keterkaitan pandangan-pandangan religiusnya dengan pandangan dari agama dan keyakinan lain “tanpa mengorbankan klaim/keyakinan tentang kebenaran agama/keyakinannya sendiri. Disinilah klaim dan upaya Kuntowijoyo sangat penting, ide dan usulannya tentang Objektivasi-Islam. Kedua, warga beragama harus menemukan posisi epistemis yang tepat berhadapan dengan otoritas ilmu pengetahuan. Proses belajar dalam hal ini dapat dikatakan berhasil, bila mereka mampu merumuskan “hubungan antara isi dogmatis agamanya dengan pengetahuan sekular sedemikian rupa, sehingga tidak terjadi pertentangan antara hasil kemajuan ilmu pengetahuan dengan pandangan berdasarkan iman dan keyakinan mengenai hal yang bersangkutan. Ketiga, warga beragama harus memiliki sikap yang tepat terhadap prinsip, bahwa yang berlaku dalam dunia politik adalah argumentasi-argumentasi sekuler, rasional/objektif, bukan dengan teks-teks (nash) agama, sehingga dapat dimengerti dan dipahami oleh semua pihak. Proses belajar dalam hal ini berhasil bila mereka mampu “mengintegrasikan prinsip egaliter/kesetaraan masing-masing individu serta prinsip moral universal kedalam kontek doktrin agamanya yang menyeluruh. Disinilah kepentingan kita merasionalkan ruang-public kita dan akhirnya opini public dan demokrasi kita.

Bagaimana hasil belajar kita itu? Bagaimana belajar masyarakat kita? Bagaimana ruang public kita? Belajar mengintegrasikan keyakinan agama sebagai orang beragama dalam tantangan negara demokrasi-hukum sekuler. Bagaimana kita menghadapi tantangan hegemoni kapitalisme pasar? Apakah kita menerimanya dengan sukacita dan siap atau justru mundur merasa ciut, melawan dengan agitasi dan memberikan barrier yang cukup tebal dan ahistoris?

Foto Rekreasi JKT Oke

Muhammad Alwi S.Psi,.MM

Muhammad Alwi.
Guru, Pendidikan dan Konsultan Pendidikan serta Peminat Studi Pendidikan, Psikologi, Filsafat dan Agama. Penulis buku, “Belajar Sukses dan Bahagia”, (Elexmedia, Kompas-Gramedia, 2011) dan “Anak Sukses dan Bahagia dengan Pendidikan Positif” (NouraBook, 2014).

Tentang pendidikan positif

Kami adalah Pendidik, Guru, Dosen dan Trainer. Riwayat Pendidikan : S1 : Manajemen dan Psikologi. S2 : Manajemen Human Resource, Univ Brawijaya Malang S3 : Manajemen Pendidikan Univ Negeri Malang. Kami mengembangkan Seminar, Workshop, dan berbagai Test berbasiskan psikology. Mulai dari 1. Workshop berbasiskan Multiple Intelligence, Topografi Otak, Power Personality, Performance Barrier, Succes with Understanding Personality, Otak Kanan- Otak Kiri, bagaimana mengetahui dan memanfaatkannya untuk sukses dll. Semua itu untuk pengembnagan SDM dan Human Capital. Baik untuk Guru, anak-anak (TK, SD, SMP, SMA, PT), juga untuk karyawan Industri dan Perusahaan. 2. Test test yang mendukung workshop dan seminar diatas seperti; a) Test Multiple Intelligence, b) Test Personality, c) Test Performance Barrier dll. Konsep Kami adalah......Discovering Your Royal road to learning, achievable and Personal Satisfaction. Bagaimana caranya? Caranya dengan discovering your talent, your ability (dengan pemahaman, test), the right place....maka sukses dan bahagia akan mudah didapatkan. Positif Pendidikan adalah Pendidikan yang berusahan menjadikan pebelajar (siapapun yang belajar), akan mampu untuk meraih tidak hanya sukses (achievable) tapi juga bahagia (will-being). Success and Happy.
Pos ini dipublikasikan di Uncategorized. Tandai permalink.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s