UU PENDIDIKAN DAN PENDIDIKAN AGAMA
Sebagai ummat beragama masyarakat Indonesia sangat menjungjung nilai-nilai agama dan religiositas. Upaya mengurapi kehidupan diri, masyarakat juga berbangsa dan bernegara dengan nilai-nilai agama adalah hal penting dan selalu diupayakan serta diperjuangkan. Perjuangan-perjuangan itu tercermin dari kehidupan keseharian, di sekolah juga didalam kenegaraan lewat perjuangan di legislatif (DPR). Khusus masalah pendidikan Agama yang akan disorot dalam tulisan ini.
Menurut Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Bab ketentuan Umum Pasal 1 dikatakan bahwa “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif engembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”.
Untuk mencapai itu diperlukan tenaga kependidikan, yang diatur dalam UU Nomor 20/2003, Bab 1, Pasal I ayat 6 dikatakan, “Pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen konselor, pamong belajar, widyaswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususanya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan.”.
Selanjutnya dalam Bab II UU No.20/2003 dirumuskan tentang dasar, fungsi dan tujuan. Pada pasal 3 dinyatakan, “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.
Khusus tentang pendidikan keagamaan (Iman dan Taqwa) pada pasal 30 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional dinyatakan sebagai berikut: “Pendidikan Keagamaan diselenggarakan oleh pemerintah dan/atau kelompok masyarakat dari pemeluk agama, sesuai dengan peraturan perundang-undangan (2) pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/ atau menjadi ahli ilmu agama, (3) pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal dan informal, (4) pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, pasraman, pabhaya samanera, dan bentuk lain yang sejenis. (UU No 20/2003, Bab IV Bagian IX Pasal 30 ayat 1, 2, 3 dan 4).
Ketua Majelis Pertimbangan dan Pemberdayaan Pendidikan Agama dan Keagamaan Departemen Agama menambahkan, pelaksanaan pendidikan agama harus memperhatikan lima prinsip dasar, di antaranya: Pertama, pelaksanaan pendidikan agama harus mengacu pada kurikulum pendidikan agama yang berlaku sesuai dengan agama yang dianut peserta didik. Kedua, pendidikan agama harus mampu mewujudkan keharmonisan, kerukunan dan rasa hormat internal agama yang dianut dan terhadap pemeluk agama lain. Ketiga, pendidikan agama harus mendorong peserta didik untuk taat menjalankan ajaran agamanya dalam kehidupan sehari-hari dan menjadikan agama sebagai landasan etika dan moral dalam berbangsa dan bernegara.
Dalam Peraturan Pemerintah nomor 55 Tahun 2007, dikatakan bahwa Pendidikan Agama dimaksudkan sebagai: “pendidikan yang memberikan pengetahuan dan membentuk sikap, kepribadian, dan ketrampilan peserta didik dalam mengamalkan ajaran agamanya, yang dilaksanakan sekurang-kurangnya melalui mata pelajaran/kuliah pada semua jalur, jenjang dan jenis pendidikan”. Sedang pendidikan keagamaan adalah pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan tentang ajaran agama dan/atau menjadi ahli ilmu agama dan mengamalkan ajaran agamanya.
Pada pasal 2 ayat 1 yang menyebutkan bahwa “pendidikan agama berfungsi membentuk manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang maha Esa serta berakhlak mulia dan mampu menjaga kedamaian dan kerukunan hubungan inter dan antar umat beragama”. Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007, pasal 8 ayat 2 yakni: “Pendidikan Keagamaan bertujuan untuk terbentuknya peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ilmu agama yang berwawasan luas, kritis, kreatif, inovatif dan dinamis dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang beriman, bertakwa dan berakhlak mulia”
Peraturan Menteri Agama Nomor 16 Tahun 2010 tentang Pengelolaan Pendidikan Agama pada Sekolah. Pendidikan Agama dimaksudkan sebagai: “Pendidikan yang memberikan pengetahuan dan membentuk sikap, kepribadian, dan ketrampilan peserta didik dalam mengamalkan ajaran agamanya, yang dilaksanakan sekurang-kurangnya melalui mata pelajaran/ kuliah pada semua jalur, jenjang dan jenis pendidikan”.
Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Kemudian pada Pasal 2, ayat 3 menyatakan “Pengelolaan pendidikan agama meliputi standar isi, kurikulum, proses pembelajaran, kompetensi lulusan, pendidik dan tenaga kependidikan, penyelenggaraan, sarana dan prasarana, pembiayaan, penilaian, dan evaluasi”.
INTISARI AGAMA
Dalam agama Islam dan semua Agama lainnya mengajarkan kebaikan-kebaikan dan mencegah keburukan-keburukan serta ritual-ritual lainnya sesuai ajaran agama masing-masing (dengan tujuan memperbaiki diri dan mendekatkan pada Tuhan Yang Maha Esa).
Secara umum apabila kita soroti, maka kebaikan-kebaikan dalam Agama itu ada 2 porsi besar, PERTAMA adalah Kebaikan SUBSTANSIAL (Ardh), kebaikan ini adalah sesuatu dikatakan baik karena dia menempel pada yang lainnya. Dia tidak ada seandainya sesuatu itu tidak menempel pada lainnya. Contohnya adalah warna. Warna merah, putih, hijau dst, itu akan terlihat keberadaannya kalau mereka menempel pada lainnya (tembok, kain dan seterusnya). Kebaikan-kebaikan ini dalam agama ada, yaitu kebaikan-kebaikan yang hanya baik karena menempel pada Agama tertentu. Misalnya Sholat, Dzikir setelah sholat, Tahlilan, Istiqhosah dst. Ini semua baik karena menempel pada Agama Islam. Buat Agama lain, maka itu tidak ada gunanya (tidak dianggap baik), demikian juga ritual lainnya dari Agama Kristen, Hindu, Budha dst.
KEDUA, adalah Kebaikan ESSENSIAL (Dzatiyyah). Kebaikan ini dikatakan baik karenan memang aslinya baik, tidak peduli dia menempel atau tidak pada lainnya. Contoh perbuatan ini adalah Keadilan, Disiplin, Jujur, Membantu Orang lain yang membutuhkan, Berbagi, Tanggung Jawab, dst. Semua agama mengajarkan ini dan semua agama mengatakan bahwa itu adalah baik.
Manusia dalam beragama tidak bisa hanya memilih yang satu dan mengabaikan lainnya, sebab Intisari dari Agama adalah kepercayaan akan ajaran-ajaran agama itu yang dipercaya turun dari langit (Tuhan). Manusia yang baik adalah manusia yang menerapkan kedua kebaikan itu dalam dirinya, dalam kehidupan kesehariannya.
Pertanyaan yang timbul disini adalah mana penekanan bahkan skala prioritas yang semestinya diupayakan baik dalam diri pribadi, untuk masyarakat dan berbangsa dan bernegara? Sebab proporsi pembelajaran dalam pendidikan, termasuk jumlah jam pembelajaran dalam sepekan, alokasi dana dan recruitmen guru dst, akan nampak kemana penekanan itu diberikan?
REALITAS DILAPANGAN
Perjuangan mengurapi agama dalam kehidupan terus diupayakan, termasuk dalam hubungannya berbangsa dan bernegara. Syariatisasi Indonesia, perjuangan perda-perda syariat, fenomena Hizbu Tahrir Indonesia (HTI) yang merangsek kelembaga pendidikan bahkan Perguruan Tinggi Negeri, juga hal yang lain terjadi. Bahkan banyak survey yang saling mendukung menunjukkan bahwa lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia (SMA dan PT) terpampang radikalisme. Apa itu radikalisme dst diluar pembahasan tulisan ini. Mengapa semua ini terjadi? Jawabannya adalah pendidikan yang kehilangan elan-vitalnya, pendidikan dan lembaga pendidikan diterobos oleh kelompok-kelompok luar yang cenderung mengidealisasi hal-hal yang berbeda secara umum dengan tujuan pendidikan dan pendidikan agama di sekolah (lembaga pendidikan).
Kalau kita masuk dalam dunia pendidikan, maka ada kesan dibedakan antara pelajaran Moral, Karakter dan Agama. Ini terlihat dalam teks-teks misalnya pendidikan Moral dan Agama, Pendidikan Budi Pekerti, Pendidikan Karakter dst. Seakan kalau Pendidikan Agama itu hanya yang Substansial saja, sementara yang Essensial itu milik yang lain (Moral, Karakter atau Budi Pekerti). Apakah dalam Agama tidak ada Moral? Karakter dan Budi Pekerti?
Lalu cobalah kita bedah buku-buku dan realitas dilapangan Pendidikan Agama yang diberikan? Mulai dari SD, SMP dan SMA? Pembelajaran dan materi-materi misalnya Hafalan al Qur’an (Juz Amma), surat-surat pendek, sifat wajib bagi Allah, doa masuk kamar mandi dan keluar, doa sebelum makan dst, ini yang lebih ditekankan daripada pembelajaran tentang Agama Essensial diatas.
Pertanyaannya bukan yang satu lebih penting daripada yang lainnya, tetapi mana skala prioritas yang semestinya dibutuhkan oleh anak-anak kita? Apalagi itu sekolah Negeri yang tanggung-jawab, harapan, penggajian guru-nya dll oleh pemerintah? Dimana visi-misi pendidikan mestinya benar-benar berorientasi pada Iman, Taqwa, Etika, Pembangunan dan Kerukunan antar ummat, menjadi warga negara yang baik dst.
PROBLEM PENDIDIKAN AGAMA ‘SUBSTANSIAL’ DI SEKOLAH
Saat seorang guru mengajar praktek wudhu misalnya, maka guru dan sekolah yang baik seharusnya mengakomodir kebutuhan siswa-siswanya. Padahal dalam satu kelas bisa jadi ada Islam NU, Muhammadiyah, Persis, Salafy, Syiah, Ahmadiyah dst. Praktek wudhu mana yang semestinya diajarkan? Apakah guru mampu mempelajari perbedaan-perbedaan itu? Contoh lagi sifat-sifat wajib bagi Allah, bagaimana ini antara NU, Muhammadiyah dan Salafy? Saat sekolah negeri utamanya melakukan Istighosah atau lainnya (yang berbau NU), apakah itu tidak menyinggung dan membuat tidak enak siswa yang Muhammadiyah? Demikian sebaliknya.
Bukan berarti itu tidak perlu diajarkan, tetapi inilah realitas problem pendidikan agama dikelas dan dalam negara kita. Kalau penekanan pendidikan disekolah lebih kearah Agama ESSENSIAL, maka perbedaan tidak ditonjolkan dan keterterimaan secara umum akan merata. Disamping itu dalam kehidupan sosial kemasyarakat, maka kebaikan-kebaiakan umum (essensial) itulah yang lebih menjamin harmoni masyarakat, sekali lagi tanpa meminggirkan agama substansial sebagai pemeluk agama yang baik.
APA YANG MESTI DILAKUKAN?
Melihat hal-hal diatas maka ada beberapa hal yang mesti dilakukan, 1) Pemerintah. Pemerintah wajib memberikan arahan-arahan yang jelas tentang kurikulum pendidikan agama sehingga tujuan pendidikan agama benar-benar akan mengarah seperti yang diinginkan yaitu menjadikan manusia Indonesia yang beriman dan bertaqwa, gotong royong dan berwawasan global (bukan import budaya arab dan karakter keras sebagian Islam Timur Tengah dst). 2) Setelah Kurikulum itu jelas, maka implementasinya harus diawasi. Ini mestinya dilakukan oleh guru-guru. Bagaimana guru-guru agama di recruit, dipilih dan ditempatkan. Screening dan test-test tertentu wajib dilakukan, disamping pengawasan lain yang periodik. Jangan sampai misalnya ada guru agama negeri mengajak anak-anak didiknya ikut deklarasi khilafah, guru agama diskusi khilaiyah dikelas, dan memojokkan satu aliran tertentu. PT Negeri jadi tempat deklarasi ISIS atau HTI dst atas nama kebebasan misalnya. 3) Guru-guru agama mesti punya wawasan keagamaan cukup, agama substansial dan essensial termasuk hubungan agama, islam dan negara dst. 4) Sekolah lebih menekankan keberagamaan yang essensial bukan substansial (tanpa mengabaikannya). Sekadar contoh, bukan ibadahnya yang dilihat tetapi ilmu agama-nya, bukan tahfidz qur’an tetapi cerdas-cermat ilmu Islam atau al Qur’an dst. Agama-agama sosial yang lebih dibobot tinggi daripada agama individual. 5) Orang tua dan lembaga pendidikan informal/non formal seperti TPQ sore atau Madin-sore dan lainnya semestinya lebih semarak untuk keperluan interest-group melakukan pembelajaran agama substansial (Yang NU dengan Ke-NU-annya, Muhammadiyah dengan Ke-MD-annya, yang Ahmadiyah, Persis, Syiah dst).
Dengan ini maka tujuan pendidikan untuk menciptakan manusia ideal, manusia-indonesia, manusia pancasila yang ber-iman dan bertaqwa dengan ke-indonesiaan dan berwawasan global bisa digapai, serta mengurangi friksi-friksi yang tidak perlu antar agama dan dalam satu pemeluk agama.
Sekolahan anda bagaimana?