Kekacauan & ‘Simulakra’ Pendidikan Agama?

Foto Rekreasi JKT Oke

Muhammad Alwi S.Psi,.MM

UU PENDIDIKAN DAN PENDIDIKAN AGAMA

Sebagai ummat beragama masyarakat Indonesia sangat menjungjung nilai-nilai agama dan religiositas. Upaya mengurapi kehidupan diri, masyarakat juga berbangsa dan bernegara dengan nilai-nilai agama adalah hal penting dan selalu diupayakan serta diperjuangkan. Perjuangan-perjuangan itu tercermin dari kehidupan keseharian, di sekolah juga didalam kenegaraan lewat perjuangan di legislatif (DPR). Khusus masalah pendidikan Agama yang akan disorot dalam tulisan ini.

Menurut Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang  Sistem  Pendidikan  Nasional  pada  Bab ketentuan  Umum  Pasal  1  dikatakan bahwa “Pendidikan  adalah  usaha  sadar  dan  terencana  untuk  mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta  didik  secara  aktif  engembangkan potensi  dirinya untuk  memiliki  kekuatan  spiritual  keagamaan, pengendalian  diri,  kepribadian, kecerdasan,  akhlak  mulia, serta  ketrampilan  yang  diperlukan  dirinya,  masyarakat, bangsa dan negara”.

Untuk mencapai itu diperlukan tenaga kependidikan, yang diatur dalam UU Nomor 20/2003, Bab 1, Pasal I ayat 6 dikatakan, “Pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen konselor, pamong belajar, widyaswara, tutor,  instruktur,  fasilitator,  dan  sebutan  lain  yang  sesuai dengan  kekhususanya,  serta  berpartisipasi  dalam menyelenggarakan pendidikan.”.

Selanjutnya dalam Bab  II  UU  No.20/2003  dirumuskan  tentang  dasar,  fungsi  dan tujuan. Pada pasal 3 dinyatakan, “Pendidikan  nasional  berfungsi  mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang  bermartabat  dalam  rangka  mencerdaskan  kehidupan bangsa,  bertujuan  untuk  berkembangnya  potensi  peserta  didik  agar  menjadi  manusia  yang  beriman  dan  bertakwa kepada  Tuhan  Yang  Maha  Esa,  berakhlak  mulia,  sehat berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.

Khusus tentang  pendidikan  keagamaan  (Iman dan Taqwa) pada  pasal 30  Undang-undang  Nomor  20  Tahun  2003  Tentang  Sistem Pendidikan Nasional dinyatakan sebagai berikut: “Pendidikan  Keagamaan  diselenggarakan  oleh  pemerintah dan/atau kelompok masyarakat dari pemeluk agama, sesuai dengan  peraturan  perundang-undangan  (2)  pendidikan keagamaan  berfungsi  mempersiapkan  peserta  didik menjadi  anggota  masyarakat  yang  memahami  dan mengamalkan  nilai-nilai  ajaran  agamanya  dan/  atau menjadi ahli ilmu agama, (3) pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan  pada  jalur  pendidikan  formal,  nonformal dan  informal,  (4)  pendidikan  keagamaan  berbentuk pendidikan  diniyah,  pesantren,  pasraman,  pabhaya samanera, dan bentuk lain yang sejenis. (UU No 20/2003, Bab IV Bagian IX Pasal 30 ayat 1, 2, 3 dan 4).

Ketua  Majelis  Pertimbangan  dan  Pemberdayaan Pendidikan  Agama  dan  Keagamaan  Departemen  Agama menambahkan,  pelaksanaan  pendidikan  agama  harus memperhatikan  lima  prinsip  dasar,  di  antaranya:  Pertama, pelaksanaan  pendidikan  agama  harus  mengacu  pada  kurikulum pendidikan  agama  yang  berlaku  sesuai  dengan  agama  yang  dianut peserta  didik.  Kedua,  pendidikan  agama  harus  mampu mewujudkan  keharmonisan,  kerukunan  dan  rasa  hormat  internal agama  yang  dianut  dan  terhadap  pemeluk  agama  lain.  Ketiga, pendidikan  agama  harus  mendorong  peserta  didik  untuk  taat menjalankan  ajaran  agamanya  dalam  kehidupan  sehari-hari  dan menjadikan  agama  sebagai  landasan  etika  dan  moral  dalam berbangsa dan bernegara.

Dalam  Peraturan  Pemerintah  nomor  55  Tahun  2007, dikatakan bahwa Pendidikan Agama dimaksudkan sebagai: “pendidikan  yang  memberikan  pengetahuan  dan membentuk  sikap,  kepribadian,  dan  ketrampilan  peserta didik  dalam  mengamalkan  ajaran  agamanya,  yang dilaksanakan  sekurang-kurangnya  melalui  mata pelajaran/kuliah  pada  semua  jalur,  jenjang  dan  jenis pendidikan”. Sedang  pendidikan  keagamaan  adalah  pendidikan  yang mempersiapkan  peserta  didik  untuk  dapat  menjalankan  peranan yang  menuntut  penguasaan  pengetahuan  tentang  ajaran  agama dan/atau  menjadi  ahli  ilmu  agama  dan  mengamalkan  ajaran agamanya.

Pada  pasal  2  ayat  1  yang  menyebutkan  bahwa “pendidikan agama berfungsi membentuk manusia Indonesia yang beriman  dan  bertakwa  kepada  Tuhan  yang  maha  Esa  serta berakhlak  mulia  dan  mampu  menjaga  kedamaian  dan  kerukunan hubungan inter dan antar umat beragama”. Peraturan  Pemerintah  Nomor  55  Tahun  2007, pasal 8 ayat 2  yakni: “Pendidikan  Keagamaan  bertujuan  untuk  terbentuknya peserta  didik  menjadi  anggota  masyarakat  yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ilmu agama yang berwawasan  luas,  kritis,  kreatif,  inovatif  dan  dinamis dalam  rangka  mencerdaskan  kehidupan  bangsa  yang beriman, bertakwa dan berakhlak mulia”

Peraturan  Menteri  Agama  Nomor  16  Tahun  2010  tentang Pengelolaan Pendidikan Agama pada Sekolah. Pendidikan Agama dimaksudkan sebagai: “Pendidikan  yang  memberikan  pengetahuan  dan membentuk  sikap,  kepribadian,  dan  ketrampilan  peserta didik  dalam  mengamalkan  ajaran  agamanya,  yang dilaksanakan  sekurang-kurangnya  melalui  mata  pelajaran/ kuliah pada semua jalur, jenjang dan jenis pendidikan”.

Undang-undang  Nomor  20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Kemudian  pada  Pasal 2, ayat  3  menyatakan  “Pengelolaan pendidikan  agama  meliputi  standar  isi,  kurikulum,  proses pembelajaran,  kompetensi  lulusan,  pendidik  dan  tenaga kependidikan,  penyelenggaraan,  sarana  dan  prasarana, pembiayaan,  penilaian,  dan  evaluasi”.

INTISARI AGAMA

kebaikan substansial dan essensialDalam agama Islam dan semua Agama lainnya mengajarkan kebaikan-kebaikan dan mencegah keburukan-keburukan serta ritual-ritual lainnya sesuai ajaran agama masing-masing (dengan tujuan memperbaiki diri dan mendekatkan pada Tuhan Yang Maha Esa).

Secara umum apabila kita soroti, maka kebaikan-kebaikan dalam Agama itu ada 2 porsi besar, PERTAMA adalah Kebaikan SUBSTANSIAL (Ardh), kebaikan ini adalah sesuatu dikatakan baik karena dia menempel pada yang lainnya. Dia tidak ada seandainya sesuatu itu tidak menempel pada lainnya. Contohnya adalah warna. Warna merah, putih, hijau dst, itu akan terlihat keberadaannya kalau mereka menempel pada lainnya (tembok, kain dan seterusnya). Kebaikan-kebaikan ini dalam agama ada, yaitu kebaikan-kebaikan yang hanya baik karena menempel pada Agama tertentu. Misalnya Sholat, Dzikir setelah sholat, Tahlilan, Istiqhosah dst. Ini semua baik karena menempel pada Agama Islam. Buat Agama lain, maka itu tidak ada gunanya (tidak dianggap baik), demikian juga ritual lainnya dari Agama Kristen, Hindu, Budha dst.

KEDUA, adalah Kebaikan ESSENSIAL (Dzatiyyah). Kebaikan ini dikatakan baik karenan memang aslinya baik, tidak peduli dia menempel atau tidak pada lainnya. Contoh perbuatan ini adalah Keadilan, Disiplin, Jujur, Membantu Orang lain yang membutuhkan, Berbagi, Tanggung Jawab, dst. Semua agama mengajarkan ini dan semua agama mengatakan bahwa itu adalah baik.

Manusia dalam beragama tidak bisa hanya memilih yang satu dan mengabaikan lainnya, sebab Intisari dari Agama adalah kepercayaan akan ajaran-ajaran agama itu yang dipercaya turun dari langit (Tuhan). Manusia yang baik adalah manusia yang menerapkan kedua kebaikan itu dalam dirinya, dalam kehidupan kesehariannya.

Pertanyaan yang timbul disini adalah mana penekanan bahkan skala prioritas yang semestinya diupayakan baik dalam diri pribadi, untuk masyarakat dan berbangsa dan bernegara? Sebab proporsi pembelajaran dalam pendidikan, termasuk jumlah jam pembelajaran dalam sepekan, alokasi dana dan recruitmen guru dst, akan nampak kemana penekanan itu diberikan?

REALITAS DILAPANGAN

Perjuangan mengurapi agama dalam kehidupan terus diupayakan, termasuk dalam hubungannya berbangsa dan bernegara. Syariatisasi Indonesia, perjuangan perda-perda syariat, fenomena Hizbu Tahrir Indonesia (HTI) yang merangsek kelembaga pendidikan bahkan Perguruan Tinggi Negeri, juga hal yang lain terjadi. Bahkan banyak survey yang saling mendukung menunjukkan bahwa lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia (SMA dan PT) terpampang radikalisme. Apa itu radikalisme dst diluar pembahasan tulisan ini. Mengapa semua ini terjadi? Jawabannya adalah pendidikan yang kehilangan elan-vitalnya, pendidikan dan lembaga pendidikan diterobos oleh kelompok-kelompok luar yang cenderung mengidealisasi hal-hal yang berbeda secara umum dengan tujuan pendidikan dan pendidikan agama di sekolah (lembaga pendidikan).

Kalau kita masuk dalam dunia pendidikan, maka ada kesan dibedakan antara pelajaran Moral, Karakter dan Agama. Ini terlihat dalam teks-teks misalnya pendidikan Moral dan Agama, Pendidikan Budi Pekerti, Pendidikan Karakter dst. Seakan kalau Pendidikan Agama itu hanya yang Substansial saja, sementara yang Essensial itu milik yang lain (Moral, Karakter atau Budi Pekerti). Apakah dalam Agama tidak ada Moral? Karakter dan Budi Pekerti?

Lalu cobalah kita bedah buku-buku dan realitas dilapangan Pendidikan Agama yang diberikan? Mulai dari SD, SMP dan SMA? Pembelajaran dan materi-materi misalnya Hafalan al Qur’an (Juz Amma), surat-surat pendek, sifat wajib bagi Allah, doa masuk kamar mandi dan keluar, doa sebelum makan dst, ini yang lebih ditekankan daripada pembelajaran tentang Agama Essensial diatas.

Pertanyaannya bukan yang satu lebih penting daripada yang lainnya, tetapi mana skala prioritas yang semestinya dibutuhkan oleh anak-anak kita? Apalagi itu sekolah Negeri yang tanggung-jawab, harapan, penggajian guru-nya dll oleh pemerintah? Dimana visi-misi pendidikan mestinya benar-benar berorientasi pada Iman, Taqwa, Etika, Pembangunan dan Kerukunan antar ummat, menjadi warga negara yang baik dst.

PROBLEM PENDIDIKAN AGAMA ‘SUBSTANSIAL’ DI SEKOLAH

Saat seorang guru mengajar praktek wudhu misalnya, maka guru dan sekolah yang baik seharusnya mengakomodir kebutuhan siswa-siswanya. Padahal dalam satu kelas bisa jadi ada Islam NU, Muhammadiyah, Persis, Salafy, Syiah, Ahmadiyah dst. Praktek wudhu mana yang semestinya diajarkan? Apakah guru mampu mempelajari perbedaan-perbedaan itu? Contoh lagi sifat-sifat wajib bagi Allah, bagaimana ini antara NU, Muhammadiyah dan Salafy? Saat sekolah negeri utamanya melakukan Istighosah atau lainnya (yang berbau NU), apakah itu tidak menyinggung dan membuat tidak enak siswa yang Muhammadiyah? Demikian sebaliknya.

imam madzab dan imam hadist

Imam Madzab dan Imam Hadits

Bukan berarti itu tidak perlu diajarkan, tetapi inilah realitas problem pendidikan agama dikelas dan dalam negara kita. Kalau penekanan pendidikan disekolah lebih kearah Agama ESSENSIAL, maka perbedaan tidak ditonjolkan dan keterterimaan secara umum akan merata. Disamping itu dalam kehidupan sosial kemasyarakat, maka kebaikan-kebaiakan umum (essensial) itulah yang lebih menjamin harmoni masyarakat, sekali lagi tanpa meminggirkan agama substansial sebagai pemeluk agama yang baik.

APA YANG MESTI DILAKUKAN?

Melihat hal-hal diatas maka ada beberapa hal yang mesti dilakukan, 1) Pemerintah. Pemerintah wajib memberikan arahan-arahan yang jelas tentang kurikulum pendidikan agama sehingga tujuan pendidikan agama benar-benar akan mengarah seperti yang diinginkan yaitu menjadikan manusia Indonesia yang beriman dan bertaqwa, gotong royong dan berwawasan global (bukan import budaya arab dan karakter keras sebagian Islam Timur Tengah dst). 2) Setelah Kurikulum itu jelas, maka implementasinya harus diawasi. Ini mestinya dilakukan oleh guru-guru. Bagaimana guru-guru agama di recruit, dipilih dan ditempatkan. Screening dan test-test tertentu wajib dilakukan, disamping pengawasan lain yang periodik. Jangan sampai misalnya ada guru agama negeri mengajak anak-anak didiknya ikut deklarasi khilafah, guru agama diskusi khilaiyah dikelas, dan memojokkan satu aliran tertentu. PT Negeri jadi tempat deklarasi ISIS atau HTI dst atas nama kebebasan misalnya. 3) Guru-guru agama mesti punya wawasan keagamaan cukup, agama substansial dan essensial termasuk hubungan agama, islam dan negara dst. 4) Sekolah lebih menekankan keberagamaan yang essensial bukan substansial (tanpa mengabaikannya). Sekadar contoh, bukan ibadahnya yang dilihat tetapi ilmu agama-nya, bukan tahfidz qur’an tetapi cerdas-cermat ilmu Islam atau al Qur’an dst. Agama-agama sosial yang lebih dibobot tinggi daripada agama individual. 5) Orang tua dan lembaga pendidikan informal/non formal seperti TPQ sore atau Madin-sore dan lainnya semestinya lebih semarak untuk keperluan interest-group melakukan pembelajaran agama substansial (Yang NU dengan Ke-NU-annya, Muhammadiyah dengan Ke-MD-annya, yang Ahmadiyah, Persis, Syiah dst).

Dengan ini maka tujuan pendidikan untuk menciptakan manusia ideal, manusia-indonesia, manusia pancasila yang ber-iman dan bertaqwa dengan ke-indonesiaan dan berwawasan global bisa digapai, serta mengurangi friksi-friksi yang tidak perlu antar agama dan dalam satu pemeluk agama.

Tentang pendidikan positif

Kami adalah Pendidik, Guru, Dosen dan Trainer. Riwayat Pendidikan : S1 : Manajemen dan Psikologi. S2 : Manajemen Human Resource, Univ Brawijaya Malang S3 : Manajemen Pendidikan Univ Negeri Malang. Kami mengembangkan Seminar, Workshop, dan berbagai Test berbasiskan psikology. Mulai dari 1. Workshop berbasiskan Multiple Intelligence, Topografi Otak, Power Personality, Performance Barrier, Succes with Understanding Personality, Otak Kanan- Otak Kiri, bagaimana mengetahui dan memanfaatkannya untuk sukses dll. Semua itu untuk pengembnagan SDM dan Human Capital. Baik untuk Guru, anak-anak (TK, SD, SMP, SMA, PT), juga untuk karyawan Industri dan Perusahaan. 2. Test test yang mendukung workshop dan seminar diatas seperti; a) Test Multiple Intelligence, b) Test Personality, c) Test Performance Barrier dll. Konsep Kami adalah......Discovering Your Royal road to learning, achievable and Personal Satisfaction. Bagaimana caranya? Caranya dengan discovering your talent, your ability (dengan pemahaman, test), the right place....maka sukses dan bahagia akan mudah didapatkan. Positif Pendidikan adalah Pendidikan yang berusahan menjadikan pebelajar (siapapun yang belajar), akan mampu untuk meraih tidak hanya sukses (achievable) tapi juga bahagia (will-being). Success and Happy.
Pos ini dipublikasikan di Filsafat dan Agama, Pendidikan Psikologi dan tag , , , , . Tandai permalink.

Satu Balasan ke Kekacauan & ‘Simulakra’ Pendidikan Agama?

  1. Gadung Giri berkata:

    Sekolahan anda bagaimana?

Tinggalkan komentar