Filsafat “Sengketa”, Pak “Ojol” dan Covid19

Foto Seminar MI OkeMerebaknya virus Covid19 membuat hampir seluruh dunia sibuk mempersiapkan diri, mengawasi diri serta melakukan tindakan-tindakan yang dianggap perlu. Cina dimana tempat awal merebaknya virus ini sudah berangsung-angsur memulih dengan kebijakn yang super ketat dan cepat. Mungkin kepemimpinan yang efektif dan sedikit-banyak otoriter cukup membantu penyelesaian ini. Berbeda dengan kasus di Italia, dimana negara itu, sampai sekarang jumlah yang meninggal melebihi Cina, dan tertinggi didunia. Dahlan Iskan, wartawan senir Jawa Pos, bekas Mentri, pernah menulis, dengan mengatakan, “Lock Down, Opo Tumon”. Intinya Lock Down yang dilakukan oleh Italia tidak seperti di Wuhan (Cina). Di Italia Lock Down nya super ringan dan tidak ketat. Negara-negara Eropa dan AS sekarang tingkat wabah ini meningkat drastis, bahkan Amerika dikabarkan sekarang menduduki tingkat tertinggi jumlah positif Covid19. Ada beberapa alasan yang menyebabkan sangat mungkin Eropa dan AS lebih sulit menangani ini dibandingkan Cina, walaupun mungkin mereka punya ekonomi dan tenaga kesehatan lebih baik dibandingkan lainnya. Beberapa alasan itu adalah; Pertama, Tingkat Kekhawatiran atau lebih tepatnya pencegahan mereka untuk masalah kesehanan sangat serius, sehingga sudah menjadi kebiasaan mereka anak-anak yang menderita penyakit flu (hidung meler dan bersin-bersin) tidak boleh bersekolah dan diisolasi. Kedua, Eropa dan AS merasa ini adalah virus biasa yang bisa ditangani dengan baik, dan rakyat mereka terbiasa merasa yakin negaranya dengan sistem kesehatan dan lainnya mampu menangai. Ini menyebabkan walaupun yang pertama baik, tetapi yang kedua membuat rakyat tidak cukup waspada. Ketiga dan ini mungkin paling serius, mereka punya keyakinan urusan kebebasan, urusan hak-hak pribadi, tidak boleh dicampuri sekalipun oleh negara dan siapapun. Karena hal ini maka perintah-perintah yang seakan memaksa dan harus, dikarenakan bahaya dan penyebaran Covid19 kurang efektif dibandingkan dengan negara-negara yang bisa melakukan gerakan-gerakan cepat termasuk represif bagi rakyatnya. McRae dalam salah satu bukunya, yang meramal tahun 2020 pernah mengatakan, “Kebiasaan-kebiasaan Eropa dan AS dalam banyak hal tidak efektif dan efisien sehingga akan menyulitkan mereka dalam banyak hal nantinya.”
Virus Corona Covid19Lalu bagaimana di Indonesia? Negara kita bukan Cina dan bukan Eropa-AS, kita mungkin ditengah-tengah diantara mereka. Saat Covid19 merebak, negara kita termasuk negara yang cukup tenang dan yakin mampu menanganinya, tetapi seperti biasa negeri ini lebih banyak konflik politik dan kepentingan dibandingkan dengan kerjasama efektif dalam menangani kasus-kasus yang cukup serius. Penanganan virus Covid19 menjadi ajang politik, pencitraan dan perilaku oposan dan lain sebagainya. Suasana Pilkada dan Pilpres yang membelah negeri ini menjadi pro-pemerintah dan oposisi sangat terlihat. Padahal sistem pemerintaha kita tidak menganut sistem oposisi, bahkan Prabowo yang awalnya adalah rival Jokowi, presiden RI sekarang, masuk dalam kabinet. Sekali lagi sebenarnya tidak ada oposisi dalam politik kita, hanya dalam masyarakat, perilaku kelompok-kelompok, pembelahan antara pro-pemerintah dan oposan, dimedia sosial sangat terasa.
Salah satu yang menarik dan bisa kita cermati adalah urusan kebijakan Lock Down. Apakah Indonesia perlu Lock Down atau tidak? Pertama-tama sebenarnya kita banyak belum tahun rincian dari Lock Down sendiri, jangan-jangan kita menjadi “Lock Down, Opo Tumon” (lock down super ringan), tetapi kita tidak sedang membahas rincian dari lock down itu sendiri. Untuk melihat bagaimana kebijakan ini mesti diambil menarik kita simak tulisan dan pendapat filosof Prancis kontemporer, Jean-Francois Lyotard. Lyotard menjelaskan ada dua makna yang berbeda antara “differend” dan “ligite”, Ligite mungkin akan lebih tepat diterjemahkan sebagai “Perkara”, sementara Differend mungkin pas kalau diterjemahkan dengan “Sengketa”. “Perkara” dapat diselesaikan oleh hakim, karena kedua pihak yang terlibat menggunakan diskursus yang sama, aturan-aturan dari kitab undang-undang atau lainnya dapat digunakan, dan logikanya dapat diterima kedua belah pihak. Sementara “Sengketa” adalah konflik dimana tidak ada aturan yang memungkinkan untuk menilai argumentasi kedua pihak yang terkait. Keduanya menggunakan diskursus sendiri-sendiri. Diskursus yang satu tidak dapat ditundukkan oleh diskursus yang lainnya. Posisi kedua belah pihak dapat dijelaskan, tetapi perbedaannya tidak pernah hilang.
Pak “Ojol” yang viral di media sosial bisa dilihat mewakili konflik ini. Dia mengatakan, “saya ingin sehat, saya ingin dirumah mengisolasi diri, tetapi kalau saya tidak keluar, maka saya dan anak-istri saya bisa sakit semua, mereka makan apa?” Dalam skala nasional pemerintah juga menghadapi hal yang sama yang dialami oleh Pak “Ojol” itu. Kalau Lock Down, maka memang lebih sehat dan memutus mata rantai penyebaran virus Covid19, tetapi bagaimana ekonomi rakyat? Bagaimana mereka makan? Bagaimana kesiapan ekonomi masing-masing individu, tidakkah ini akan lebih menyakitkan lagi, bahkan bisa timbul penjarahan, harga-harga melonjak sangat tinggi, inflasi besar-besaran, ekonomi kita akan merosot dan lain sebagainya. Konflik dalam tubuh pemerintah juga sama dengan skala makro dengan Pak “Ojol” itu. Mana yang benar, apakah lock down dan tidak lock down? Ini adalah wilayah “Sengketa”. Tidak bisa dipastikan benar-salahnya, karena ini parameternya tidak ada acuan-acuan jelas. Sekadar analogi masalah diatas adalah kasus, “Apakah boleh masjid ditutup sementara untuk tidak sholat berjamaah (Jum’atan)?” Memang mudah mengatakan bahwa, “Sehat dulu baru kerja lagi”, tetapi sebagian orang mengatakan, tidak kerja malah lebih sakit lagi (sakit sekeluarga), seperti kasus Pak “Ojol” diatas.
Oleh karena itu maka sebenarnya diskusi lock down dan tidak lock down itu biarkanlah pemerintah yang memberikan penyelesaian, kalau tidak salah itu diserahkan pada daerah masing-masing. Mereka ada mekanisme, ada DPR sebagai wakil rakyat dan masyarakat lebih baik kalau ingin membantu melakukan share edukasi yang baik, tidak membuat mencekam, dan mungkin apa yang dilakukan oleh Dahlan Iskan dengan memesan APD ke Sritex, dan mungkin pemerintah bisa menyulap sebagian pabrik-pabrik semacam itu untuk kebutuhan-kebutuhan yang mendesak. Disinfektan dan bilik disinfektan, masker, vitamin C, APD ataupun hal-hal lainnya yang dibutuhkan secara massal. Daripada berdiskusi dengan suasana “benar” dan “Salah”, sementara itu wilayah “Sengketa”.

Muhammad Alwi, Praktisi dan Konsultan pendidikan, juga peminat Filsafat dan Studi Islam.

 

 

 

 

Tentang pendidikan positif

Kami adalah Pendidik, Guru, Dosen dan Trainer. Riwayat Pendidikan : S1 : Manajemen dan Psikologi. S2 : Manajemen Human Resource, Univ Brawijaya Malang S3 : Manajemen Pendidikan Univ Negeri Malang. Kami mengembangkan Seminar, Workshop, dan berbagai Test berbasiskan psikology. Mulai dari 1. Workshop berbasiskan Multiple Intelligence, Topografi Otak, Power Personality, Performance Barrier, Succes with Understanding Personality, Otak Kanan- Otak Kiri, bagaimana mengetahui dan memanfaatkannya untuk sukses dll. Semua itu untuk pengembnagan SDM dan Human Capital. Baik untuk Guru, anak-anak (TK, SD, SMP, SMA, PT), juga untuk karyawan Industri dan Perusahaan. 2. Test test yang mendukung workshop dan seminar diatas seperti; a) Test Multiple Intelligence, b) Test Personality, c) Test Performance Barrier dll. Konsep Kami adalah......Discovering Your Royal road to learning, achievable and Personal Satisfaction. Bagaimana caranya? Caranya dengan discovering your talent, your ability (dengan pemahaman, test), the right place....maka sukses dan bahagia akan mudah didapatkan. Positif Pendidikan adalah Pendidikan yang berusahan menjadikan pebelajar (siapapun yang belajar), akan mampu untuk meraih tidak hanya sukses (achievable) tapi juga bahagia (will-being). Success and Happy.
Pos ini dipublikasikan di Uncategorized. Tandai permalink.

Tinggalkan komentar