Sejarah dan Perkembangan Pemikiran dalam Islam (Bag 1)

Foto Ana

Muhammad Alwi

Apabila kita berbicara tentang Islam maka kita sebenarnya sedang membicarakan tentang “Kebenaran”, baik kebenaran itu dalam artian rasionalistik, maupun kebenaran-kebenaran ‘wahyu’, dan kebenaran trancendental, sebab itu semua semestinya tidak akan berbeda karena mendapatkan inspirasi yang sama, kata para intelektual Islam. Dalam Islam walaupun sejarahnya mungkin naik-turun, menanjak dan menukik, tetapi Islam ada bagian-bagian yang tetap, non-temporer dan bagian-bagian lain yang berubah-ubah, dimana keduanya itu diakomodasi dalam Islam. Islam dalam hampir semua aspeknya yang diajarkan oleh Wahyu dan dijelaskkan oleh para intelektual Islam adalah satu kesatuan kosmik dengan sebutan Tauhid. Keyakinan Islam bahwa ‘tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasulullah adalah inti ajaran Islam. Apapun itu maka berporos kesana, baik itu teologi, filsafat, sufy, teosofi juga intelektual-alam (Al Biruni, Khayyam, Ibn Sina, dan lainnya).

Diskusi antara ‘Akal’ dan ‘Wahyu’ serta kesatuan keduanya adalah upaya dasar para intelektual Islam untuk menyelaraskan keduanya. Baik itu memang didedahkan dalam al Qur’an serta Hadist sebagai tauladan kehidupan yang dipraktekkan oleh Rasulullah, juga konsekuensi-konsekuensi dalam berdiskusi dan penalaran logis. Islam walaupun tampaknya terutama para filosof mengedepankan supremasi akal (nalar) dari wahyu, tetapi bila kita dalami maka akan terlihat tidak seperti itu. Islam memberikan keselarasan keduanya kalau tidak mensubordinasi Nalar dengan Intelek. Gnosis (makrifat, sufy, Irfan) lebih diminati dan dikedepankan daripada Filsafat. Dikatakan oleh Nasr[1], mengutip dari Bonaventure bahwa scientia (ilmu-ilmu manusia) hanya dapat benar-benar hadir dalam hubungannya dengan sapentia (kearifan) dan bahwa akal ialah kemampuan mulia, hanya jika menuju pengertian daripada ia ingin bebas dari dasarnya sendiri atau berusaha mencakup Yang tak Terbatas dalam suatu sistem yang terbatas.

Dalam beberapa periode ada beberapa kelompok rasionalis yang berusaha membebaskan diri dari dan menentang gnosis, dan melawan penafsiran ortodox, misalnya Ibn Zakaria ar Razi, Rhazes dalam sebutan Barat, dokter Islam yang terpandang, tetapi spirit itu tidak lama dan mengecil hanya tinggal dipinggiran. Inilah salah satu jasa Al Ghazali, kalau kita boleh mengatakan itu, dari segala kerugiannya, untuk memberikan supremasi makrifah, intellection (pemahaman) daripada penalaran (ratiocination), walaupun berefek pada lainnya. Serangan al Ghazali dengan bukunya Thahafut al Falashifa cukup punya efek yang positif dan negatif, serangan itu dibantah oleh Ibn Rusyd, tokoh Islam yang sangat Aristotalian, dengan bukunya Thahafut at Thahafut, juga cukup berefek. Tetapi Ibn Rusyd dipuja dan diterima pemikirannya oleh dunia barat, sementara di Islam hanya menjadi tokoh tetapi tidak banyak pengaruhnya bagi dunia Islam. Ibn Rusyd ingin menunjukkan bahwa tidak ada pertentangan antara wahyu dan akal, syariat dan akal.

Ilmuwan Islam

Ilmuwan Islam

Para pemikir Barat umumnya beranggapan bahwa intelektual Islam, khususnya para Filosof seperti Ibn Rusyd dan Ibn Sina adalah tokoh-tokoh penentang agama dan berperilaku jauh dari agama. Padahal tidak demikian bila kita mengkajinya secara lebih seksama.[2] Barat menerima inpirasi filsafat dari Islam dan mengembangkannya lepas dari unsur-unsur Intellection, pemahaman, intuisi, hanya pemikiran rasional, penalaran, bahkan kuantitatif yang dikembangkan. Banyak pemikir Islam yang dijadikan idola, teorinya diajarkan dalam kampus-kampus barat, seperti Ibn Sina, Al Biruni, Umar Khayyam dan lainnya, tetapi mereka membuang sisi gnostik dari ajaran filosof-filosof Islam itu. Bahkan buku Ibn Sina yang paling terkenal kitab al Shifa, yang sangat Aristotalian, buku ini adalah buku penyembuhan (al Shifa), karya ini memuat ilmu yang dibutuhkan untuk menyembuhkan jiwa dari penyakit kebodohan, dimana semua itu semua diharapkan dan dibutuhkan untuk dapat mengerti, memahami (intellection). Islam hampir dalam semua intelektualnya mulai dari al Kindi, al Farabi, Ibn Sina, Umar Khayyam, Al Biruni, At Thusi, Ibn Bajah, Ibn Thufail dan lainnya selalu menyelaraskan antara Nalar dan Intellectioan, antara Akal dan Wahyu. Sehingga jangan heran dan mungkin benar sekali perkataan Henry Corbin, saat mengebut filsafat Islam dengan, Prophetic Philosophy.

Dalam sejarah penyerapan Ilmu-ilmu dan hikmah dari luar, para sarjana dan Intelektual Islam selalu berpedoman dengan, kata-kata yang diucapkan oleh al Kindi (Filosof pertama dan berkebangsaan Arab), dimana sebagian mengatakan itu telah diucapkan, atau ia mengutip dari ucapan Ali bin Abi Thalib, saudara sepupu Rasulullah. “Kita tidak akan malu mengakui kebenarana dan mengambilnya dari sumber manapun ia datang bagi kita, bahkan jika kebenaran itu dibawa kepada kita oleh generasi yang lebih muda atau orang asing. Bagi mereka yang mencari kebenaran, tidak ada yang lebih bernilai daripada kebenaran itu sendiri; kebenaran tidak pernah merendahkan mereka yang mencapainya, baginya adalah penghargaan dan penghormatan”. [3]

Islam memperoleh inpirasi intelektualnya disamping dari wahyu pastinya, juga dari beberapa jurusan dan aspek, tidak saja dari Yunani (Grika). Sain-Kosmologi berasal dari Grika, Kaldea, Persia, India juga Cina. Alkemi kemungkinannya banyak dari India dan Cina sementara filsafat, metafisika tidak diragukan dari Grika. Dalam pemikiran Grika yang memang secara umum mempengaruhi intelektual Islam, kita dapat membagi menjadi dua bagian yaitu Pertama: Aliran Hermetis-Pythagoras. Disini pendekatnnya adalah metafisis, sain-alam yang tergantung pada penafsiran simbolik dari fenomena dan Matematika. Aliran ini dianggap kelanjutan dari nabi-nabi kuno seperti Sulaiman dan Idris. Disini seakan akal dibimbing oleh ilmu-ilmu Ilahi. Perkembangan sisi esoteris-Islam banyak terinspirasi oleh ajaran-ajaran ini. Kedua: Aliran Syllogistik-Rasionalistik pengikut Aristotelian. Disini cirinya adalah filosofis (daripada metafisis) dan sain yang bertujuan untuk meletakkan segala sesuatu pada satu tempat dalam satu sistem rasional, daripada melihat hakekat samawi benda melalui penampilannya. Disini adalah upaya terbaik pikiran manusia untuk sampai pada kebenaran, dan disini dibatasi oleh keterbatasan akal.

Walaupun seakan bahwa filsafat dan para filosof adalah dominan dalam Intelektual Islam, tetapi kenyataannya yang kedua (filsafat) hanya mempengaruhi sebagian, sementara sebagian besarnya dipengaruhi oleh yang pertama yaitu gnosis, sufy, teosofi dan irfan serta wahyu pastinya. Dalam dunia sunny lebih cenderung kepada sufy –karena filsafat, utamnya Ibn Sina dan kawan-kawan, diserang habis oleh Al Ghazali dan Ar Razi. Sementara dalam dunia Syiah, serangan Ar Razi terhadap Ibn Sina diberi tanggapan secara detail (seperti Ibn Rusyd zaman al Ghazali), dan oleh Nashiruddin at Thusi (Teolog dan Filosof Islam-Syiah). Juga para intellektual Syiah mampu melihat dan melestarikan ajaran Ibn Sina yang didalamnya (masa-masa tua Ibn Sina) ada upaya mengoreksi dan memperbaiki filsafatnya denga filsafat-Timur yang cenderung gnostik, irfan.

Abul Fath Umar ibn Ibrahim al Khayyami atau dikenal dengan Umar Khayyam (429H/1038M – 517H/1123M), membagi stratifikasi orang yang mencari kebenaran dalam 4 kategori yaitu;

  1. Ahli teologi yang mau menerima bukti-bukti bertentangan dan yang “memuaskan” dan menganggap pengetahuan seperti ini tentang al-Khalik telah memadai.
  2. Filosof dan orang terpelajar [pengaruh Grika] yang menggunakan alasan rasional dan yang ingin mengetahui hukum logika, mereka tidak pernah puas hanya dengan argumen “yang memuaskan”.Tapi mereka juga tidak bisa tetap setia dengan syarat-syarat logika dan kemudian tidak tahu lagi apa yang akan dibuatnya dengan itu.
  3. Kaum Ismailiah [satu cabang Islam Syi’ah] dan yang lainnya, yang berkata, bahwa jalan kepada ilmu tidak lain yalah menerima penjelas-an dari sumber yanga/i’m dan yang dipercaya; karena dalam penalaran tentang ilmu Pencipta, Hakikat-Nya dan Sifat-Nya, terdapat banyak banyak kesukaran; daya penalaran dan kecerdasan kedua lawan [yang me-nentang otoritas penuh dari wahyu dan pihak yang menerima wahyu sepenuhnya] tidak berdaya dan tak dapat berbuat apa-apa terhadap wahyu itu. Karena itu, kata mereka, sebaiknyalah mencari ilmu dari? Ucapan seseorang jujur.
  4. Kaum Sufi, yang mengejar ilmu tidak dengan cara meditasi atau pemikiran logis, tapi dengan jalan penyucian jiwa mereka dan pem-bersihan sifat dan pembawaan mereka. Mereka membersihkan jiwa rasional dari kotoran dunia dan jasadi hingga menjadi substansi yang murni. Jiwa ini akan bertatap muka dengan dunia spiritual, sehingga bentuk dunia tersebut akan betul-betul tercermin dalam jiwa tanpa ragu atau was-was. Ini cara yang terbaik, karena tak satu pun dari kesempurnaan Tuhan disembunyikan dan tiada halangan atau tabir baginya. Sebab itu setiap gelintir kebodohan yang ada pada manusia datang dari ketidaksucian sifatnya; jika tabir diangkat dan layar atau rintangan dibuang, kebenaran tentang sesuatu seperti apa adanya akan muncul. Dan Nabi Muhammad saw menyatakan ini dengan ucapan-nya: “Scsungguhnya, sclama hidup kamu, illiam datang dari Allah. Tidakkah engkau miu menurut ilham itu?” Katakan kepada para rasionalis, bahwa bagi pecinta Tuhan [gnostik], intuisi adalah penuntun, bukannya pikiran logis.[4]

Menarik melihat pembagian ini, sebab Umar Khayyam mengkatagorikan Ismailiah dalam golongan tersendiri, walaupun dalam penjelasannya mereka adalah kelompok yang mengambil Kebenaran dari manusia-manusia yang jujur (semacam Imam), tetapi dalam kategori ini para fuqaha (ahli figh atau hadist) tidak dimasukkan disana. Kemungkinan ini mengarah kepada Ikhwan al Shafa, sekelompok filosof, teosofi, irfan yang bergerak dengan pandangan ke-Syiahan atau Ismaili. Disamping itu Umar Khayyam sendiri menyebut dirinya sebagai pengikut ortodoks Phytagoras sekaligus sufy.[5]

Aliran teologi oleh Khayyam dianggap ‘paling lemah’ dan tidak terlalu menukik, cukup puas dengan berbagai bukti yang bertentangan. Ini mungkin bisa kita lihat dari teologi Asyariyyah (Abul Hasan al Asyari). Dengan konsep atomisme, mereka tidak mempercayai hubungan sebab-akibat. Hal-hal yang berhubungan dengan sebab-akibat, seperti Api itu membakar dan air itu mendidih kalau dipanaskan, diangap hanya sebuah kebiasaan belaka. Itu semua tergantung pada Tuhan. Supremasi Tuhan diangkat sedemikian rupa sehingga apapun itu adalah penciptaan dan penciptaan, bukan hubungan kausal. Mereka memberikan bukti (seperti al Ghazali), yang mengatakan bahwa Nabi Ibrahim itu dibakar dengan Api tetapi tidak terbakar. Artinya bukan sifat Api itu membakar, tetapi itu semua tergantung pada Tuhan, apakah dia menciptakan itu untuk membakar atau tidak. Ibn Rusyd memberikan jawaban dengan cukup baik, dengan mengatakan bahwa definisi sesuatu itu menunjukkan bahwa itulah sifat sesuatu tersebut. Kalau tidak maka hilanglah semua dari definisi-definisi itu. Apa definisi Api? Api itu salah satunya adalah membakar, maka kalau dia berhubungan dengan sesuatu pasti membakar, tetapi apakah akan benar-benar terbakar? Itu tergantung dari sekian faktor yang mempengaruhi, seperti misalnya; apakah kayu yang akan dibakar itu tidak basah? Apakah kayu itu tidak dilapisi oleh sesuatu yang anti terbakar dan banyak sebab-sebab lainnya. Maka mukjizat sebenarnya bukan meniadakan sebab-akibat, demi supremasi Tuhan dan Mukjizat, tetapi banyak faktor yang dapat menghalangi itu dan itu dalam kuasa Tuhan. [6]

Banyak tokoh-tokoh filsafat Islam yang bisa disebutkan disini diantaranya adalah; Jabir ibn Hayyan (103H/721M- 200H/815M). Dia ahli kimia, seorang Syiah dan Sufi, hidup di istana Harun ar Rasyid dengan mentri Abbasiyah dan golongan terkenal Barmakiyah, punya hubungan dengan orang-orang disekitar Imam Ja’far Shadiq (Imam ke 6 Syiah).

Abu Yusuf Ya’qub ibn Ishaq al Kindi (185H/801M-260H/873M). Ia adalah filosof Arab awal, dan peminat awal buku-buku Grika ang diterjemahkan ke bahasa Arab dan Suriah.  Hunain Ibn Ishaq (194H/810M – 263H/8777M). Seorang Kristen dan penerjemah buku-buku Grika ke bahasa Arab. Ia belajar di Jundishapur dan Baghdad dibawah Ibn Maskawaih. Ia adalah seorang dokter ternama, bersama anaknya mereka menerjemahkan buku-buku Grika dari bahasa Yunani dan Suriah ke bahasa Arab. Tsabit Ibn Qurrah (211H/826M – 288H/901M). Ia berasal dari kaum Sabea di Harran tempat pemujaan agama terhadap planet-planet dan ajaran Phetagorean. Dia adalah penerjemah besar dan ahli Fisika dan Matematika, murid Muhammad ibn Musa Ibn Syakir.

Muhammad ibn Musa al Khawarizmi (Meninggal 249H/863M). Dilahirkan di Khawarazm, daerah Khiva sekarang. Dia ahli Matematika Islam dan hidup di istana Makmun. Tulisannya Al Jabar (Al jabar wa-Muqabalah), menjadi istilah didunia untuk bagian ilmu Matematika sampai sekarang. Ia memperkenalkan bilangan India yang akhirnya dibarat dianggap sebagai bilangan Arab. Dia menuslis banyak tentang geografi disamping matematika dan memperbaiki karya Ptolemeus, dan membuat peta baru bumi dan langit. Algorisme sebutan Latin dari al Khawarizmi menjadi nama Aritmatika cukup lama di belahan Eropa, juga kebidang-bidang komputer modern.

Muhammad Ibn Zakariya al Razi (251H/865M – 313H/925M). Dikenal dengan nama Rhazes, disbut sebagai Galen-nya Arab. Seorang ahli kedokteran termashur di dunia Islam. Tulisannya tentang penyakit Cacar dan Campak, dibaca di dunia barat sampai masa modern. Waaupun karya-karya selain kedokteran dan alkemia banyak di kritik di dunia Islam karena dianggap meremehkan Wahyu dan supremasi akal. Abu Nasr Al Farabi (258H/870 – 339/950M). Ayahnya seorang jendral sehingga dia mampu belajar dengan orang-orang terbaik, dia banyak menguasai- bahasa. Al Farabi belajar logika pada Abu Bisyr Matta Ibn Yunus. Al Farabi punya murid Kristen terkenal yaitu Yahya Ibn Adi, yang menjadi penerjemah buku-buku ke bahasa Arab. Dia dikenal sebagai Guru ke Dua (setelah Aristoteles, yang dianggap Guru pertama). Diakhir hidupnya ia pindah ke istana Saif al Daulah di Aleppo, dan meninggal diasan.

Abu Ali al Husain Ibn Sina (370H/980M – 428H/1037M). Disebut Avicenna dalam bahasa Latin. Dia dikenal dengan sebuat Syeikh al Rais (Pemimpin para cendikiawan). Lahir di Bukhara dari keluarga Ismaili yang terdidik. Banyak mengarang buku dan sangat terkenal, dibarat maupun didunia Islam. Karyanya yang terkenal adalah Qanun (Aturan Pengobatan). Buku ini sampai sekarang diajarkan disebagian dunia Timur dan Dibarat diterjemahkan dalam bahasa Latin, dan menjadi buku ajar universitas-universitas didunia Barat, berabad-abad lamanya. Juga buku ensiklopedia Kitab al Shifa’. Bagian buku ini diterjemahkan bahasa Latin abad 6H/12M. Pandangan ilmiahnya berpengaruh didunia barat dan meninggalkan bekas pada Albertus Magnus, St Thomas, Duns Scotus dan Roger Bacon.

Sementara Filosof itu terdiri dari dua kelompok yaitu paripatetik, dengan penalaran silogistik, dimana ingin menempatkan setiap sesuatu dalam satu sistem yang luas. Secara sederhana Filsafat diartikan sebagai upaya manusia untuk mengerti, dengan menggunakan methode, dan menyusunnya menjadi sebuah sistem sehingga bermakna.[7] Dan Teosofi (Isyaraqiyyah), aliran Iluminatif, dimana sebenarnya diawali secara tidak langsung oleh Ibn Sina sendiri dengan beberapa karya akhirnya yaitu Trilogi Filsafat Timur, Hayy ib Yaqzhan, al Thair (Burung) dan Salman dan Absal.

Menarik apa yang ingin disampaikan oleh Sayyed Husein Nasr dalam disertasinya lalu diterbitkan menjadi buku, An Introduction to Islam and Cosmology Doctrine (1964). Intinya Nasr ingin mengatakan bahwa Islam sejak awal selalu berpegang pada supremasi wahyu dan menggabungkan antara hati/intellect dan Akal/Penalaran. Ini sangat-sangat terlihat dari para filosof dan intelektual Islam (baik itu Teolog, Filosof, Ismaili maupun Sufi, kalau kita menggunakan pembagian Khayyam diatas). Islam mengundurkan diri dari kancah Filsafat-Paripatetik, bukan karena Islam itu berhenti, karena kekalahan politik, peran penguasa yang mendukung Fuqaha dan lain sebagainya termasuk serangan terhadap filsafat oleh Al Ghazali. Islam dan dunia Islam memang tidak menghendaki konsep filsafat-Paripatetik un sich. Islam pada dasarnya adalah menggabungkan antara paripatetik (Aristotelian) dan Neoplatonis juga bagian dari Phytagorean-Hermetisis. Paripatetik memang pernah menjadi supremasi sesuatu yang dipelajari, mesti mereka meninggalkan bekas yang tak terhapuskan pada terminologi pemikiran Islam, paripatetik (filsafat rasional) kian lama kian terasing dari unsur-unsur ortodoks, baik dari segi teologi juga Gnosis. Mereka memang bukan dominan dalam dunia Islam (yang terbimbing), harus menepi dan digantikan oleh filsafat teosofi dimana ini menggabungkan antara akal, penalaran dan intellection, pemahaman.

Penggantian itu seakan bertolak belakang dengan dunia Barat. Saat Islam mulai kembali ke Abad Pertengahan (kembali menggunakan pemahaman, intuisi sebagai bagian dari pemikitan Intelektual islam), Barat berbalik meninggalkan Gereja, meninggalkan intusis, pemahaman menjadikan dirinya renaisance, dalam artian membuang apapun selain Penalaran.

Al-Biruni

Ilmuwan Islam Al Biruni

Dalam dunia Islam itu ada terbukti, sejak awal dan bahkan Syaikh Al Rais (Ibn Sina) sendiri seperti yang dikatakan, bagaimana dia mengarah ke Sufi terlihat di akhir-akhir tulisannya (tentang Filsafat Timur). Jadi bukan dikarenakan al Ghazali, juga lainnya, walaupun itu juga memberikan pengaruh tambahan, tetapi memang Islam mengarah kesana (Akal, Penalaran dan hati, Qalb, Intuisi dan Pemahaman). Geogegio De Santillana, pemberi pengantar buku Nasr tentang “Sain dan Peradaban dalam Islam”, yang mirip dengan Disertasinya, yang diberi pengantar oleh orientalis, H.R Gibb, keduanya seakan terhentak dan kurang setuju dengan paparan Nasr, walaupun sulit untuk membantahnya. Santillana mengatakan, dengan mengutip ucapan Nasr, Namun bagi pengarang (Nasr, maksudnya), “Filsafat demikian (maksudnya – filsafat paripatetik, penulis), tetap merupakan benda asing dan Aristoteles tanpa basa-basi dikirim kembali ke Barat, tempat yang cocok baginya bersama Ibn Rusyd, pengikut terbesarnya. Bagi Nasr, sebenarnya pemikiran Islam masih hidup dengan kuatnya dan Aristoteles hanya satu monumen masa lalu”[8] Dilihat dari luar (bagi sejarawan kritis terutama Barat) sesuatu yang seakan centan perenang, kemunduran, kemacetan, bagaiman sejak serangan al Ghazali, kemunduran politik Islam, filsafat paripatetik tidak berkembang, dan diganti dengan ke syufian, tetapi dilihat dari dalam itu, yang lebih mendasar lagi adalah bentuk kematangan kesadaran, saat kebijakan rohani dan hikmah yang kekal sebagai penganti filsafat logis yang terikat waktu. Pengunduran diri Intelektual Islam dari filsafat paripatetik bukan bermula dari terpecahnya tubuh politik Islam, tetapi sebelum itu, ditengah zaman keemasan Islam, sebelum kebangkitan doktrin metafisik sufisme. Sekali lagi itu terlihat secara jelas dalam karya-karya Ibn Sina. Akhirnya filsafat Islam tumbuh menjadi perpaduan antara teologi-filsafat dan Syufi (diakatakan sebagai Teosofi).

Ada sebuah polemik besar yang mengelayuti pikiran dengan konsep Nasr ini, seakan Nasr mengatakan bahwa Filsafat Paripatetik ke Barat dan Islam menerima Teosofi adalah sebuah keharusan dan baik, itu bukan sebuah kemunduran. Pertanyaannya adalah, Pertama; Realitanya banyak kemajuan-kemajuan Islam terjadi saat filsafat paripatetik unggul, bahkan zaman teologi muktazilah mendominasi juga masa keemasan dan kemajuan Islam. Kedua, Pemikiran Al Ghazali, apalagi Asyariyyah dengan konsep Atomisme, yang “anti inteteltual”, menyerang atau tidak percaya dengan hukum sebab-akibat, bagaimana kemajuan ilmu-pengetahuan akan berkembang? Bila pola pikirnya seperti itu? Ketiga, walaupun memang sebenarnya yang disintesiskan oleh Nasr adalah Teosofi, bukan konsepnya al Ghazali, tetapi Mulla Sadra, sekali lagi tetap saja konsep itu mengedepankan penyelidikan batin, daripada semangat berfikir ke-Alam-an. Dengan konsep Paltonis atau Neoplatonis, maka ilmu-ilmu Indrawi diabaikan bahkan dianggap ‘bukan ilmu pengetahuan’, yang ilmu pengetahuan adalah hal-hal yang bersifat ide, konseptua, seperti Matematika dan Metafisika. Observasi, ilmu-ilmu empiris, indrawi, metode ilmiah dianggap ilmu-ilmu yang kurang penting. Empat, Apakah ini maknanya Islam memang tidak seprogressif Barat? Dan pada kenyataannya Barat sekarang dengan jalan yang dilaluinya akan mengarah kejurang? Sehingga banyak hal yang diupayakan termasuk konsepsi cara berfikir awalnya yang salah? Kita bisa lihat awalnya dimulai oleh Marx Khorkheimer Jerman, sampai Habermas sekarang, salah satu buku yang menarik adalah dan menunjukkan problem itu adalah “Dilema Manusia Rasional”. [9]

Ibnu Sina

Ilmuwan Islam Ibn Sina

Sehingga bisa dikatakan bahwa dunia dengan kemajuannya sekarang adalah timpang, dimana hanya mengedepankan pemikiran rasional dan nalar tanpa kebijaksaan, kearifan. Walaupun dunia tanpak gemerlap, banyak ilmu-pengetahuan dan tehologi yang sudah sedemikian majuanya, tetapi itu mesti dibayar dengan nilai yang mahal, dimana kemerosotan moral, ketidakadilan, eksploitasi, penyakit, kelaparan, perlombaan senjata dan lainnya. Lalu apakah yang mesti kita ambil? Mungkin bisa dikatakan nilai etisnya adalah apabila konsep Islam yang dikatakan Nasr tadi diadop, dan sepertinya Barat sedang mencari-cari cara untuk itu, maka mungkin dunia tidak segemerlap sekarang, tetapi lebih tenang, dan bahagia. Mirip sekadar analogi dan pendekatan yang agak kasar, bisa dikatakan bagaimana kita melihat indeks kebahagiaan negara-negara. Disitu nampak bukan negara yang paling maju yang tertinggi kebahagiaannya, tetapi semacam negara-negara skandinavia yang tertinggi.

[1] Sayyed Hosein Nasr, 1968, Science and Civilization in Islam, p. 7. Harvard University Press, Cambridge, Massachusetts.
[2] Lihat contohnya, Bertran Russel, Sejarah Filsafat Islam, Pustaka Pelajar, 2002.
[3] Nasr, Teology, Philosophy and Spirituality. World Spirituality Vol.20, p. 33. Crosssroad Publishing Company, 1991.
[4] Umar Khayyam, Risalah-I Wujud (manuskrip Bayadhi, di Perpustakaan Nasional Teheran), Terjemahan dari Sayyed Hosein Nasr, dalam, Science and Civilication in Islam, p 14-15.
[5] Ibid.
[6] Ibn Rusyd, Tahafut At-Tahafud, 2004, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
[7] Poedjowiyatna, Pembimbing Ke Arah Alam Filsafat, 1994, Renika Cipta, Jakarta.
[8] Nasr, Pengantar George Santillana, hal vi.
[9] Sindhunata, “Dilema Manusia Rasional”, Gramedia, Jakarta, 1983.

 

Muhammad Alwi
Psikolog dan Konsultan Pendidikan. Peminat Studi Islam, Psikologi-Filsafat dan Pendidikan.

Tentang pendidikan positif

Kami adalah Pendidik, Guru, Dosen dan Trainer. Riwayat Pendidikan : S1 : Manajemen dan Psikologi. S2 : Manajemen Human Resource, Univ Brawijaya Malang S3 : Manajemen Pendidikan Univ Negeri Malang. Kami mengembangkan Seminar, Workshop, dan berbagai Test berbasiskan psikology. Mulai dari 1. Workshop berbasiskan Multiple Intelligence, Topografi Otak, Power Personality, Performance Barrier, Succes with Understanding Personality, Otak Kanan- Otak Kiri, bagaimana mengetahui dan memanfaatkannya untuk sukses dll. Semua itu untuk pengembnagan SDM dan Human Capital. Baik untuk Guru, anak-anak (TK, SD, SMP, SMA, PT), juga untuk karyawan Industri dan Perusahaan. 2. Test test yang mendukung workshop dan seminar diatas seperti; a) Test Multiple Intelligence, b) Test Personality, c) Test Performance Barrier dll. Konsep Kami adalah......Discovering Your Royal road to learning, achievable and Personal Satisfaction. Bagaimana caranya? Caranya dengan discovering your talent, your ability (dengan pemahaman, test), the right place....maka sukses dan bahagia akan mudah didapatkan. Positif Pendidikan adalah Pendidikan yang berusahan menjadikan pebelajar (siapapun yang belajar), akan mampu untuk meraih tidak hanya sukses (achievable) tapi juga bahagia (will-being). Success and Happy.
Pos ini dipublikasikan di Filsafat dan Agama, Psikologi dan Pendidikan dan tag , , , . Tandai permalink.

Tinggalkan komentar