Meraih Kebahagiaan (Bagian 1)

Telaaf filosofis dan Psikologis bagaimana bahagia dan  meraih kebahagiaan

Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.(QS; 2:216)

Kebaikan Bukanlah Kebaikan apabila akhirnya adalah Neraka, Keburukan Bukanlah keburukan apabila akhirnya adalah Surga (kaul: Maksumin)

“Affectus, qui passio est, desinit esse passio simulatque eius claram et distinctam formamus ideam.” Emosi yang sedang menderita, tidak akan lagi menderita setelah kita membuat gambaran yang jelas dan benar dari penderitaan tersebut.(Spinosa dalam buku Ethics)

Pembuka

Betapa bahagianya apabila kita berumur 70 tahun, anak-anak sudah selesai semua, sudah kerja dengan baik, kawin, kita punya cucu, dan mereka sudah cukup berjalan dalam kehidupannya. Sedangkan kita dengan umur setua itu, menghabiskan waktu dengan, sholat jamaah di surau dekat rumah kita, sekali-kali mengimami, menjenguk anak-anak dan cucu, sekali-sekali mengisi pengajian disurau atau tempat-tempat lain.

Menghabiskan waktu kita dengan sholat sunnah, membaca, berkebun dan untuk kesehatan kita, kita makan makanan sehat, dan olah raga bersama istri dan anak/cucu kita. Kita masih menyumbang dengan uang kita beberapa masjid, panti, taman pendidikan dll, sekadar kita mampu. Betapa barokah orang seperti itu. Sampai setua itu, dia masih mengirim material yang cukup kesurga dengan ibadah-nya, ilmunya dan uangnya….mudah-mudahan kita bisa seperti itu….amien..amien, amin.

Orang yang bahagia, sukses sebenarnya; menurut kami adalah orang yang 1) Bahagia (bahagia, tidak harus kaya, tidak harus berilmu bahkan tidak mesti sehat, tetapi mereka yang mampu menghayati, apapun yang dimilikinya). 2) Orang yang sehat, sebab walau ia bahagia tetapi ia sakit, maka jelas akan ‘terkurangi’ kebahagiaan atau ‘kemanfaatannya’….3) Orang yang berilmu, sebab kalau sudah tua, maka hanya ilmu saja yang mungkin bisa dimanfaatkan dari pada lainnya termasuk membaca buku, mengajar dst. 4) Orang yang cukup kaya (walau ini relative), sebab banyak hal yang bisa dilakukan dengan kekayaan itu dan 5) Orang yang bermanfaat untuk yang lain dengan kebahagiaannya, kesehatannya, ilmunya maupun kekayaannya.

Sebagian dari kita berfikir bahwa “hidup ini untuk berjuang, dan kebahagiaan ada di akhirat nanti”. Makanya kita tidak perlu senang dan bahagia didunia, sebab itu akan merusak ibadah kita dan mengurangi nilai kita di akhirat. Sebagian omongan itu ada benarnya, tetapi tidak semuanya dapat kita benarkan, sebab ada perbedaan antara Kesenangan Vs Kebahagiaan dan Musibah dengan Penderitaan.

Musibah seperti kehilangan anak, kebakaran rumah, penyakit, kecelakaan, kemelaratan, penghinaan, penghianatan, itu berasal dari luar diri kita. Musibah kata filosuf adalah “realitas objektif”. Sedangkan yang menerima musibah itu menderita atau tidak adalah tergantung. Karena Penderitaan adalah “Realitas subjektif” (pictures in our head). Ada orang yang kehilangan istrinya atau anaknya. Realitas objektif, itu adalah musibah, tetapi mungkin orang itu merasa senang (realitas subjektif), sebab dia ingin kawin lagi atau anaknya sangat menjengkelkan/membuatnya menderita.

Jamie Mayerfeld menulis dalam bukunya Suffering and Moral Responsibility; dalam arti objektif penderitaan sama dengan bencana atau kemalangan, tetapi terkadang penderitaan hanya menunjukkan pengalaman dari bencana yang objektif, tanpa mempedulikan keadaan psikologis dari orang yang mengalami. Penderitaan lebih menunjukkan apa yang dirasakan orang (makna psikologis, realitas subjektif). Penderitaan seperti ini sama dengan apa yang disebut oleh Jeremy Bentham dan Henry Sidgwick ketika mereka menyebut Pain (kepedihan) dan epicurus menyebutnya Lupe (penderitaan).

Karena penderitaan, atau lupe, bersifat subjektif, musibah tidak selalu menimbulkan penderitaan. Kehilangan sandal sedih, tetapi itu langsung hilang setelah melihat orang kehilangan kedua kakinya. Bagi si kenyang ayam bakar tak lebih enak terasa ketimbang dedaunan seladri diatas meja. (Sa’di)

Dr Paul Pearsall, dalam penelitiannya menemukan, orang justru menderita setelah sukses. Itulah yang dikatannya sebagai toxic success (sukses beracun). Sehingga kita keliru sekali kalau hanya melihat kemajuan, keberuntungan itu dari naiknya pendapatan, tingginya gaji atau besarnya pertumbuhan ekonomi (GNP). Kebahagiaan tidak tergantung pada limpahan kekayaan, kebahagiaan ditentukan oleh perasaan ketersambungan dengan tujuan hidup, dengan masyarakat, dengan hal-hal spiritual, dengan apa saja yang bermakna. Perasaan ketersambungan itu berbeda antar satu orang dengan orang lain.

Menurut Budha, penderitaan terjadi karena ada keinginan, hasrat, nafsu yang harus dipuaskan. Karenanya untuk mengakhiri penderitaan, orang harus mengakhiri keinginan. Menghentikan keinginan membuka jalan menuju nirvana. Disinilah perlunya asketisme, meditasi, iman dan latihan-latihan kerohanian.

Judaisme atau agama Yahudi mengatakan, bahwa kira tak perlu menghilangkan keinginan. Kebahagiaan dicapai dengan mematuhi hukum Tuhan (Mitzvot). Taurat menjelaskan; “Patuhilah Mitzvotku dan lakukanlah semuanya. Dengan begitu, kamu mengabdikan dirimu kepada Tuhanmu… jalan-jalannya adalah jalan kebahagiaan dan semua jalannya adalah jalan kedamaian”.

Kristen mengatakan; perlunya untuk berbuat baik dan bahayanya berbuat buruk.

Dalam Islam, kata al Qur’an yang paling tepat menggambarkan kebahagiaan adalah kata aflaha (QS; 20:64, 23:1, 87:14, 91:9). Kamus bahasa arab klasik merinci makna falah derivasi aflaha adalah: kemakmuran, keberhasilan atau pencapaian apa yang diinginkan atau kita cari; suatu yang dengannya kita berada dalam keadaan bahagia atau baik; terus menerus dalam keadaan baik; menikmati ketentraman, kenyamanan, atau kehidupan yang penuh berkah; keabadian, kelestarian, terus menerus, keberlanjutan.

Dalam adzan Islam, kita selalu mendengan hayya alal falah dan juga hayya alal khayril amal (marilah meraih kebahagiaan, marilah berbuat baik). Ini konsep yang sangat baik, sebab orang yang bahagia cenderung berbuat baik, atau dengan kata lain, kita disuruh bahagia dan mempertahankannya dengan berbuat baik. Kita bisa lihat ayat-ayat al Qur’an yang banyak, tentang kebahagiaan itu, antara lain; 12:189, 3:130,200, 5:35,90100, 7:69, 8:45, 22:77, 24:31, 62:10 dll. Ayat ayat ini tidak hanya menunjukkan tujuan akhir dari perintah Tuhan adalah supaya kamu berbahagia, tetapi juga rincian perbuatan yang membawa kita kepada kebahagiaan. “kamu hanya bisa membahagiaan orang lain, kalau kamu sudah berhasil membahagiakan dirimu”. Hadis nabi mengatakan; “Ibda’ bi nafsik”, mulailah dari dirimu sendiri.

Plato menisbahkan pada Sokrates mengatakan bahwa kebahagiaan adalah anugrah tuhan karena kita hidup dengan “Baik”. Apakah yang disebut dengan baik itu? Eupraxia, kata Sokrates, yang didefinisikan oleh Plato sebagai berfungsinya seluruh bagian jiwa secara harmonis. Nasihat ini telah menyiratkan, kita bisa hidup bahagia dengan “mengikuti alam”. Yang ini diartikan dengan beraneka ragam, ada yang mengatakan dengan memenuhi tuntutan jasmaniah, kata Aristippus. Kata kaun Stoik dengan menekan kesenangan jasmaniah dan memuaskan akal. Mengikuti alam kata Aristoteles adalah menjalankan “fitrah” kemanusiaan kita.

Hidup yang baik adalah hidup yang bahagia kata Aristoteles. Tetapi banyak hal-hal yang baik; turunan baik, kesehatan baik, rupa baik, kekayaan baik. Apa hubungan baik-baik ini dengan kebahagiaan? Menurut Aristoteles hidup yang bahagia adalah hidup yang sempurna karena memiliki semua hal yang baik. Hal-hal yang baik itu komponen kebahagiaan, semua kita cari untuk mencapai kebahagiaan.[1] Mengapa kita ingin sehat? Karena kita ingin bekerja dengan baik, mengapa kita ingin bekerja dengan baik? Karena kita ingin mendapat penghasilan yang baik, mengapa kita ingin mendapat penghasilan yang baik? Karena kita ingin punya rumah yang baik dan keluarga yang baik. Mengapa ingin punya itu? Karena kita ingin bahagia? Mengapa kita ingin bahagia? Karena..karena …kita ingin bahagia. Kebahagiaan adalah keinginan kita terakhir. Kebaikan tertinggi atau Summum Bonum. “kebahagiaan diinginkan untuknya sendiri tidak untuk yang lainnya. Jadi kebahagiaan adalah suatu yang final dan mencukupi sendiri.”

Upaya meraih kebahagiaan adalah proses terus menerus untuk mengumpulkan semua kebaiakan: kekayaan, kehormatan, kepandaian, kecantikan, persahabatan dan sebagainya yang sangat diperlukan untuk menyempurnakan fitrah kemanusiaan dan memperkaya kehidupan. Untuk itu resepnya adalah; 1) Menggunakan Akal. Ini adalah kemampuan kita yang sangat penting. Seperti kata Apollo di Delphi, yaitu Mede agan (jangan berlebihan). Kita harus meletakkan diri kita pada posisi tengah-tengah (golden mean)[2]. Kebaikan terletak ditengah-tengan; keberanian terletak antara pengecut dan nekad. Kedermawanan terletak diantara kebakhilan dan keborosan. Kerendahatian terletak diantara rasa rendah diri dan kesombongan. Kejujuran terletak antara kerahasiaan dan keterbukaan. Persahabatan terletak antara pertengkaran dan rayuan.dll. 2) Akal dipergunakan untuk memilih. Setiap hari kita melakukan pilihan. Pilihan-pilihan itu dilakukan dengan menggunakan akal. Bahkan kata filsuf eksistensialis, eksistensi manusia adalah “pilihan”. Tanpa memilih, mengmbil keputusan kita tak ada bedanya dengan hewan. Lapar makan, ngantuk tidur dll. Tetapi kita menggunakan pilihan mengmabil keputusan. Apa yang harus kita makan, layak tidakkah itu kita makan dst. Dan ini semua menggunakan akal, dan kita lakukan terus menerus tanpa henti sampai kita mati. Kebahagiaan kata Stephen Covey, “dapat didefinisikan paling tidak, sebagai hasil keinginan dan kemampuan mengorbankan apa yang kita inginkan sekarang untu apa yang kita inginkan pada akhirnya”.

Dipinggir jalan di Athena, Socrates berbicara mirip Budha pada Anthipon; “tanpaknya kamu piker bahwa kebahagiaan itu terletak pada kemewahan dan keberlimpahan, tetapi aku piker untuk tidak menginginkan sesuatu sama dengan menyerupai para dewa, menginginkan sesedikit mungkin adalah menghampiri para dewa sedekat mungkin”. Cynosarges dari kelompok filsafat Cynis mengatakan; “aku tidak memiliki agar aku tidak dimiliki”. Aristippus mengatakan; “aku memiliki, tetapi aku tidak dimiliki”.[3] Katanya; kalau memiliki sesuatu itu mendatangkan kesenangan mengapa kita harus merendahkannya. Tetapi kesenangan itu harus kita kendalikan secara rasional. Kita tidak boleh jadi budak kesenangan. Kita bisa hidup mewah pada situasi relevan dan juga dapat menerima kemiskinan pada situasi lain. Kebahagiaan tidak boleh ditentukan oleh pemilikan kekayaan. Ia sangat mencintai Lais wanita simpanannya dan ia mengatakan; “Lais kepunyaanku, tetapi aku bukan kepunyaan Lais. Ia mendirikan madzab yang keseangan menjadi tujuan hidup. “manusia baik adalah manusia yang memaksimalkan kesenangan dan meminimalkan penderitaan”. Aristippus cukup aneh dia senang dengan kesengan dan tidak pura=pura dengan itu walau ia sangat benci dengan kesombongan. Diakhir hidupnya ( 356SM) ia mengatakan bahwa warisan terbesar yang ia tinggalkan untuk anak perempuannya Arete  adalah bahwa ia telah mengajarnya “UNTUK TIDAK MEMBERIKAN NILAI KEPADA APAPUN YANG IA BISA HIDUP TANPA ITU”. Lima belas tahun setelah kematian Aristippus, dibagian yunani yang lain, Samos, lahir Epicurus, orang yang melanjutkan Hedonisme aristippus. Secara singta menurut Epicurus, fungsi filsafat adalah bukan menjelaskan dunia, karena tidak mungkin bagian menjelaskan keseluruhan. Funfsinya adalah membimbing kita untu meraih kebahagiaan. Filsafat didefinisiakan sebagai “seni membuat hidup bahagia”. Tujuan hidup adalah kebahagiaan personal, yang berupa kesenangan jasmani semata. Katanya; “Tidak mungkin hidup senang tanpa menjalankan kehidupan yang bijaksana, mulia, dan adil; serta tidak mungkin hidup bijaksana, mulia dan adil tanpa hidup senang.

Pada zaman modern Epicurus masih meneruskan filsafatnya lewat Utilitarianisme ( dari kata latin utilis, berguna) tokohnya adalah John Stuart Mill dan Jeremy Bentham (dalam Principles of Morals and Legislation). Kita harus hidup dengan memilih dan meraih yang banyak kegunaannya. Kegunaan untuk siapa? Untuk pribadi (utilitarianisme egoistic), untuk kebahagiaan semua orang (utilitarianisme altruistic). Mana yang baik? Psikologi Positif, seperti juga kata Peyton Conway march; “ada satu hukum alam yang sangat menakjubkan; tiga hal yang paling kita inginkan dalam kehidupan – kebahagiaan, kebebasan, dan kedamaian jiwa- selalu diperoleh dengan memberikan kepada orang lain.” Tetapi yang mesti kita ingat; “kita memberikan apa yang kita punya”. Oke

Kebahagiaan menurut saya (SMAHJ).

Manusia diciptakan dimuka bumi ini untuk suatu tujuan, tujuan itu secara ringkas adalah untuk menjadi khalifah dimuka bumi dan untuk beribadah kepadaNYA. Yang apabila itu semua diterangkan dan dijelaskan panjang lebar, maka inti sarinya adalah “manusia diciptakan oleh Allah untuk kebahagiaan dirinya, baik didunia maupun akhirat. Lalu apa kebahagiaan itu? “Kebahagiaan menurut kami (SMAHJ) adalah kemampuan kita untuk melakukan sesuatu sesuai dengan keinginan kita”. Lalu apa keinginan kita itu? Keinginan kita adalah fitrah kita. Lalu apa fitrah kita itu? Fitrah kita adalah keinginan asli kita, tanpa dipengaruhi oleh sosio-budaya, promosi, iklan dll. Dan keinginan asli kita, tertuang dalam “Syariat”. Sebab syariat ( yang isinya adalah perintah dan larangan) adalah konfirmasi Tuhan, yang tidak lain adalah “keinginan, berarti perintah, dan ketidak inginan atau ketidak sukaan, berarti larangan, kita.

Ini mirip juga beda dengan Aristoteles yang mengatakan kebahagiaan adalah hidup yang memiliki semua hal yang baik. Itu memang benar, sesuai dengan definisi diatas (kemampuan kita untuk melakukan apapun sesuai dengan keinginan kita). Tetapi kita tidak harus mengumpulkan semua kebaikan-kebaikan itu.[4] Sebab baik itu relative. Kekayaan itu baik, tetapi menjadi orang kaya walau ia dermawan akan lebih rendah kebaikannya ( ekuivalen dengan kurang baik) dibandingkan dengan orang yang sederhana atau cukup. Inilah mungkin kenapa nabi Muhammad tidak memilih kaya seperti nabi Daud as.

Bersambung di Meraih Kebahagiaan (Bagian 2)


[1] Ini perlu diperbincangkan karena kurang tepat menurut kami (Muhammad Alwi, selanjutnya disingkat SMAHJ).
[2] Mungkin ini mirip dengan sebutan tuhan dalam al-Qur’an, dimana umat islam disebut sebagai umat tengah
[3] Kata-katanya mirip konsep wara’ dalam Islam, tetapi isinya sangat berbeda.
[4] Ini perlu didiskusikan lagi. Sebab Nabi Muhammad saw tidak kaya. Sehingga dia tidak mengumpulkan semua kebaikan padanya (mungkin bisa dijelaskan bahwa kaya pada saat itu bukan sebuah kebaikan atau kesempurnaan, lebih sempurna kalau kurang atau mirip dengan umumnya). Tetapi pada sisi lain ada hadist yang mengatakan; “kita disuruh menyempurnakan diri dan akhlak kita supaya menyerupaiNYA”. Arti disini adalah memilki apapun yang baik. Kuat, kaya, ilmu, sabar dll.

Kaya berarti ada barang yang cukup banyak tetap pada dirinya (rumah mewah, pembantu/budak banyak, mobil mewah, harta banyak dll). Walau dia, orang itu sangat dermawan. Kita katakan Nabi Sulaiman as kaya, nabi Daud as kaya, walau sangat dermawan. Tetapi beda dengan Nabi Muhammad saw, beliau sangat dermawan, tidak kalah dengan mereka, tetapi tidak ada barang yang cukup banyak tertinggal cukup lama padanya, sehingga beliau cukup layak disebut kaya secara umum.

Tentang pendidikan positif

Kami adalah Pendidik, Guru, Dosen dan Trainer. Riwayat Pendidikan : S1 : Manajemen dan Psikologi. S2 : Manajemen Human Resource, Univ Brawijaya Malang S3 : Manajemen Pendidikan Univ Negeri Malang. Kami mengembangkan Seminar, Workshop, dan berbagai Test berbasiskan psikology. Mulai dari 1. Workshop berbasiskan Multiple Intelligence, Topografi Otak, Power Personality, Performance Barrier, Succes with Understanding Personality, Otak Kanan- Otak Kiri, bagaimana mengetahui dan memanfaatkannya untuk sukses dll. Semua itu untuk pengembnagan SDM dan Human Capital. Baik untuk Guru, anak-anak (TK, SD, SMP, SMA, PT), juga untuk karyawan Industri dan Perusahaan. 2. Test test yang mendukung workshop dan seminar diatas seperti; a) Test Multiple Intelligence, b) Test Personality, c) Test Performance Barrier dll. Konsep Kami adalah......Discovering Your Royal road to learning, achievable and Personal Satisfaction. Bagaimana caranya? Caranya dengan discovering your talent, your ability (dengan pemahaman, test), the right place....maka sukses dan bahagia akan mudah didapatkan. Positif Pendidikan adalah Pendidikan yang berusahan menjadikan pebelajar (siapapun yang belajar), akan mampu untuk meraih tidak hanya sukses (achievable) tapi juga bahagia (will-being). Success and Happy.
Pos ini dipublikasikan di Psikologi dan Pendidikan. Tandai permalink.

Tinggalkan komentar